Selasa, Maret 19, 2024

Refleksi 133 Tahun Kota Sawahlunto 1 Desember 1888- 2021

More articles

Pada masa Orde Baru pemerintahan pusat mengeluarkan Undang-Undang Pemerintahan Desa yaitu UU no. 5 tahun 1979. Dengan dikeluarkan undang-undang ini maka nagari sebagai sebuah pemerintahan administratif terendah di Sumatra Barat dihapus lalu dipecah menjadi beberapa desa. Di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung praktisnya undang-undang ini mulai berlaku tahun 1983. Sejak itu wadah yang diharapkan mampu untuk menampung berbagai persoalan nagari kini tertumpu kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai satu-satunya lembaga yang menaungi nagari yang di akui oleh undang-undang.

Sementara itu desa-desa yang baru terbentuk sebagai pecahan dari pemerintahan nagari yang telah di bubarkan itu, tidak bisa menjangkau begitu dalamnya persoalan-persoalan kehidupan sosial bernagari karena desa-desa itu hanya pemerintahan administratif semata yang berada di bawah kecamatan.
Di nagari-nagari di kota Sawahlunto khususnya nagari Kubang, ada persoalan nagari yang sudah turun temurun yaitu sengketa tanah ulayat nagari dengan perusahaan tambang batubara yang merupakan warisan penjajahan Belanda. Persoalan lainnya adalah berdirinya kotamadya Sawahlunto (kota lama) di atas tanah ulayat nagari Kubang yang bersengketa dengan perusahaan tambang itu. Dapatlah di bayangkan betapa rumitnya masalah ini yang sudah tentu tak akan mungkin bisa dihadapi oleh nagari Kubang yang sejak itu hanya dipayungi oleh KAN Kubang yang sangat lemah. Sedangkan sewaktu masih adanya Pemerintahan Nagari Kubang juga tak mampu menghadapi permasalahan sebesar ini. Di satu sisi nagari Kubang sangat bangga dengan perusahaan tambang ini, nagari juga Kubang sangat butuh dengan berdirinya kota Sawahlunto ini, tapi perusahaan tambang dan kota Sawahlunto itu tak memberikan kontribusi apa-apa buat nagari. Terutama dimasa sebelum masuk kotamadya. Tapi keduanya hanya memberi kontribusi ke pada nagari sebagai efek domino dari aktifitas masyarakat adatnya yang berkiprah di kedua institusi itu, dan berkiprah di simpul-simpul ekonomi kota.
Karena tak adanya kontribusi langsung dari kedua institusi penting itu baik kepada nagari Kubang pada masa nagari masih berdiri maupun kepada KAN Kubang setelah era pemerintahan desa, maka nasib nagari Kubang itu seperti kata pepatah ibarat ayam mati kalaparan diateh lumbuang. Herannya semua stakeholder di Sawahlunto, provinsi sampai ke pusat menganggap hal itu biasa saja dan wajar-wajar saja. Tak ada yang memikirkan nasib nagari Kubang apalagi berpihak. Kenapa bisa begitu?. Jawabannya pasti lebih rumit lagi untuk dijabarkan. Dia ibarat angin, terasa ada tapi tak terlihat wujudnya.
Kalau kita mundur sedikit melihat beberapa peristiwa sejak berhentinya aktivitas tambang tahun 2003, maka kaburnya sejarah tanah ulayat nagari Kubang itu akibat narasi-narasi yang di bangun oleh mereka-mereka yang punya kepentingan di Sawahlunto secara masif sejak lama. Ada yang mengatakan bahwa Sawahlunto itu adalah sawah dari orang Lunto. Sesederhana itu mereka menerjemahkan sebuah kata “Sawahlunto”. Narasi seperti itu jelas bukanlah dibuat oleh masyarakat hukum adat nagari Lunto, tetapi justru dibangun oleh orang-orang yang punya kepentingan di Sawahlunto.
Ada pula pihak-pihak yang mengklaim bahwa mereka adalah pemilik ulayat di sebagian Sawahlunto kota lama. Bahkan pernah ada yang berani memasang spanduk di sekitar RSUD Sawahlunto yang mengatakan bahwa daerah itu adalah tanah ulayat mereka. Pernah pula ada propaganda entah dari mana asalnya ke beberapa tokoh Kubang di Sawahlunto melalui SMS yang memperingatkan agar masyarakat Kubang jangan ganggu daerah dari batas aliran sungai kearah saringan, lubang tembok, tangsi Gunuang dan lain-lain karena itu tanah ulayat mereka. Itulah beberapa propaganda yang ibarat angin itu dimana dia nyata ada tapi tak jelas wujudnya. Semua propaganda itu jelas tak benar.
Jika dicermati penyebabnya adalah karena masyarakat hukum adat nagari Kubang sangat tadongek (terdiam karena sakit) sejak somasi niniak mamak Kubang tahun 2007 yang tidak ditanggapi Pemerintah Daerah yang berakibat terjadi benturan di internal anak nagari akibat salah kaprahnya Pemda mengambil sikap terhadap somasi niniak mamak tahun 2007 yaitu mengabaikan somasi niniak mamak itu tetapi justru merangkul tokoh-tokoh perantau. Sejak tahun 2007 itulah masyarakat hukum adat nagari Kubang tadongek yaitu lama terdiam dan kesakitan karena timbul benih-benih perpecahan. sehingga banyak pihak yang melihat kesempatan itu, lalu bermunculan pengakuan bahwa Sawahlunto kota lama yang ditinggalkan perusahaan tambang sebagai ulayat mereka. Mirisnya Pemda Sawahlunto sempat pula mengambil kesempatan dengan mengakomodir sebagian kelompok ini untuk mendapatkan tanah ulayat nagari Kubang itu untuk dijadikan sebuah kawasan wisata di kota Sawahlunto. Begitulah nasib tanah ulayat Kubang itu telah menjadi bahan bancakan oknum dan berbagai kelompok untuk kepentingannya. Jelas mereka ini adalah orang-orang atau kelompok-kelompok yang tak paham dan tak menghargai betapa dalamnya makna nagari dan adat nan salingka nagari di Minangkabau.
Bila kita buka kembali lembaran-lembaran sejarah kota Sawahlunto ini secara utuh dan benar maka baru kita akan mengerti duduk perkara tanah ulayat itu, khususnya tanah ulayat nagari Kubang di Sawahlunto (lihat 4 seri tulisan berjudul Sejarah Tambang dan Tanah Ulayat Nagari Kubang di Sawahlunto di gindobonsu.blogdpot.com). Tapi bila hanya mendengar narasi-narasi yang di bangun oleh oknum dan kelompok-kelompok tertentu dari masa ke masa yang hanya sepenggal-sepenggal, jelas ini hanya menguntungkan sebagian pihak tapi merugikan pihak lainnya khususnya nagari Kubang.
Karena itu sejarah kota ini di periodisasi sebagai solusi bagi para penggiat sejarah agar sejarah kota Sawahlunto berdiri utuh, tidak sepenggal-sepenggal. Keberadaan nagari Kubang di Sawahlunto tidak dimulai sejak Belanda mendirikan kota Sawahlunto. Tapi merekalah pemilik tanah ulayat kota Sawahlunto jauh sebelumnya. Itulah kenyataan yang harus diterima oleh semua stakeholder di Sawahlunto. Karena itu periodisasi sejarah Sawahlunto perlu dilakukan, dimulai sejak periode nagari Kubang sebelum Belanda datang. Agar utuh terlihat siapa dan bagaimana masyarakat hukum adat nagari Kubang khususnya dan nagari-nagari di sekeliling kota lama Sawahlunto umumnya. Kemudian akan jelas pula terlihat siapa dan bagaimana sikap “kekuasaan” di Sawahlunto dari periode ke periode.
Akan terlihat adanya perang dingin yang timbul tenggelam dari periode ke periode antara “kekuasaan” dan pemilik capital besar dengan masyarakat hukum adat nagari Kubang khususnya. Ini terjadi karena pengingkaran atau tidak adanya pengakuan akan investasi dan pengorbanan masyarakat adat nagari Kubang terhadap perusahaan tambang dan kota kecil ini oleh “kekuasaan”. Jelas kepentingannya adalah untuk menguasai sumberdaya alam nagari berupa tanah ulayat yang cakupannya tegas dikatakan dalam filosofi adat Minangkabau yaitu “kabawah takasiak bulan, kaateh taambun jantan”. Inilah ekonomi kolonial di kota Sawahlunto yang dipancangkan sejak tahun 1880-an lalu sehingga dia tumbuh subur hingga saat ini . Inilah pula kesalahan terbesar Pemerintah Daerah Kota Sawahlunto dari periode ke periode karena terus menerus berpihak kepada pemilik kapital besar dengan terus menerus memarginalkan masyarakat adatnya sendiri dari periode ke periode pemerintahan. Mereka yang termarginalkan itu adalah masyarakat hukum adat nagari-nagari di Sawahlunto umumnya dan masyarakat hukum adat nagari Kubang khususnya. Lebih ironisnya lagi bahwa kapitalis yang telah mencengkrami sendi-sendi kehidupan masyarakat itu terus dipelihara di era euforia otonomi daerah saat ini. Padahal seharusnya Pemda sebagai pemegang kendali otonomi daerah itu, menghitung dengan rinci untung dan rugi kenapa mempertahankannya.
Sekarang mari kita lihat dimana letak untungnya mempertahankan kapital besar itu jika hasil eksploitasi sumber daya alamnya tak tinggal setetespun buat Pemda-nya sejak kemerdekaan. Lalu kemana pula royalty selama ini, sesuai filosofi adat Minangkabau yang besarnya adalah dalam sapuluah kalua ciek (10%) buat masyarakat nagari sebagai pemilik ulayat. Apalagi sejak tahun 2003 kapital besar itu sudah tak berjalan lagi. Itu artinya juga sudah tak lagi menyerap tenaga kerja dari daerah ini. Lalu sejak 2019 kapital besar ini mengklaim pula tanah ulayat nagari Kubang dengan mendirikan patok hak milik di pusat kota ini seluas 335 ha. Tapi kenapa Pemda Sawahlunto diam saja?. Bagaimana kalkulasi untung-rugi Pemda Sawahlunto dan apa untung mempertahankannya?. Kenapa mesti dipertahankan dengan tetap memperpanjang izin IUP-nya?. Tentu ini menjadi pertanyaan besar di masyarakat adatnya yang terus menerus dirugikan. Wajar jika masyarakat adatnya mengatakan bahwa Pemda Sawahlunto “sangat lemah” menghadapi persoalan ini sehingga tak sanggup berpihak kepada masyarakatnya.
Indikasi lemahnya Pemda Sawahlunto untuk urusan tanah ulayat itu sudah terlalu banyak. Selain indikasi “untung rugi” yang telah dikupas diatas masih banyak indikasi yang manggalanggang Mato rang banyak. Lihatlah kembali sejarah berdirinya kota ini 133 tahun lalu menjadi bagian Afdeling Tanah Datar, kemudian membentuk Kelarasan adalah untuk memperkuat bergaining position (cengkraman) kolonialis atas tanah ulayat nagari-nagari khususnya nagari Kubang. Mirisnya ini berbanding lurus dengan sikap Pemda kota Sawahlunto di era otonomi daerah ketika menghadapi somasi niniak mamak nagari Kubang tahun 2007. Somadi niniak mamak itu diabaikan dan dibiarkan mengambang karena juga untuk memperkuat cengkraman kapital besar yang telah melahirkannya itu untuk menguasai tanah ulayat. Padahal inti dari somasi niniak mamak adalah mengajak pemerintah dan pihak-pihak yang bertikai untuk duduk bersama mencari winwin solution di tengah euforia otonomi daerah waktu itu. Dimana seharusnya pemda-lah yang memegang kendali, bukan bukan perusahaan kapital besar. Mungkin ini yang dikatakan invisible hand dalam teori Kapitalisme itu.
Kemudian indikasi lemahnya Pemda Sawahlunto lainnya adalah pengusulan peninggalan tambang itu menjadi Ombilin Coal Maining Heritage of Sawahlunto (OCMHS) kepada UNESCO juga tanpa melibatkan niniak mamak nagari kubang. Untuk siapa OCMHS itu sebenarnya. Bukankah itu untuk masyarakat Sawahlunto umumnya?. Tapi kenapa Pemda hanya merasa perlu menggandeng perusahaan pemilik kapital besar yang sudah tak berjalan lagi. Padahal hampir semua objek yang di usulkan OCHMS itu berdiri diatas tanah ulayat masyarakat hukum adat nagari Kubang. Kenapa Pemda merasa lebih baik menggandeng perusahaan pemilik kapital itu dari pada menggandeng masyarakat adatnya sendiri sebagai pemilik ulayat. Mungkin karena ini pula IUP itu terus di perpanjang walau kegiatannya sudah berhenti sejak 20 tahun lalu.
Pemda Sawahlunto lupa bahwa jika kapital besar itu adalah ibu yang telah melahirkannya maka masyarakat adat nagari Kubang adalah neneknya yang melahirkan ibunya itu. Sayang ibunya itu tumbuh besar dan kaya-raya tapi menjadi anak durhaka karena tak lagi ingat jasa-jasa orangtuanya yang telah melahirkan dan membesarkannya.
Tidakkah pernah Pemda ini berpikir bahwa sebenarnya lebih baik bila menggandeng masyarakatnya sendiri seperti masyarakat adat nagari Kubang dalam setiap apapun yang akan di kembangkan di kota lama ini, karena bisa saja masyarakat adat yang kental dengan nasionalisme dan nilai-nilai juang itu akan menghibahkan sebagian ulayatnya, seperti tempat berdiri fasilitas-fasilitas umum seperti Rumah Sakit dan lain-lain kepada Pemda-nya sendiri. Bisa saja Sebagian masyarakat yang yang terkatung-katung nasibnya di tanah kelahirannya akan dijadikannya anak kemenakan oleh nagari pemilik ulayat. Kemudian setelah itu semua unsur di kota ini akan semakin lengket dalam kebersamaan dan bergandengan tangan untuk menatap masa depan yang lebih baik menghadapi tantangan globalisasi yang semakin keras ini.
Dilain hal apa untungnya menggandeng kapital besar itu jika Pemda merogoh kocek hingga milyaran dari APBD-nya yang seharusnya digelontorkan buat masyarakatnya tapi kini harus digelontorkan untuk menyewa berbagai fasilitas dari si kapital besar yang seharusnya sudah mereka serahkan kepada masyarakat hukum adat nagari Kubang sesuai filosofi adat kabau pai kubangan tingga. Mirisnya kemungkinan uang dari sewa-menyewa itu yang mereka kembalikan dalam bentuk CSR kepada masyarakat untuk menutup mulut kita. Tapi nilainya mungkin hanya seperempat dari nilai uang sewa-menyewa yang telah mereka kantongi setiap tahun. Dia telah menjadi tuan tanah di tanah ulayat nagari Kubang. Apakah Pemda Sawahlunto, Anggota Dewan yang terhormat, masyarakat Sawahlunto umumnya dan masyarakat adat nagari-nagari khususnya telah menyadari hal itu. Itulah hebatnya si kapital besar itu di Sawahlunto. Kadang dia terlihat nyata tapi tak terasa. Kadang dia terasa tapi tak terlihat nyata.
Wallahu’alam bissawab***.

* Sabron/Marjafri

google.com, pub-6415022739291285, DIRECT, f08c47fec0942fa0

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

iklan

iklan

Latest