Sabtu, Juli 27, 2024

Komite I : Desentralisasi Perlu Ditata Ulang

More articles

 

Jakarta,metrotalenta.online–Salah satu kegiatan Komite I DPD RI pada masa sidang I Tahun Sidang 2023-2024 adalah mengundang pakar/ahli untuk membahas pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Kegiatan dalam bentuk RDPU dilaksanakan di Ruang Sriwijaya gedung B Kompleks DPD RI Senayan jakarta (29/08). RDPU yang diikuti oleh anggota Komite I DPD RI tersebut menghadirkan 3 (tiga) ahli pemerintahan sebagai narasumber, antara lain Prof. Dr. Siti Zuhro, Robert Na Endi Djaweng, S.IP., M.Si dan Dr. Halilul Khairi. RDPU dipimpin oleh ketua Komite I, Senator Fachrul Rozi. Pada sambutan pengantar, Fachrul Rozi mempertanyakan apakah otonomi daerah masih ada, atau sekarang kita berada pada kondisi _the end of_ otonomi daerah.

Endi Djaweng menyatakan bahwa kita sudah mempraktekkan otonomi daerah dengan berbagai dinamikanya. Namun adanya gejala resentralisasi atau arus balik sudah mulai terasa sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Pada Undang-Undang tersebut sebagian kewenangan yang dahulunya diserahkan kepada kabupaten/Kota ditarik ke tingkat provinsi. Arus balik semakin nyata ketika semakin berkurangnya kewenangan kabupaten/kota sebagai dampak dari lahirnya Undang-Undang Cipta kerja, Undang-Undang Minerba, dan beberapa Undang-undang lainnya.
Dibagian lain, Djaweng memandang bahwa perlu segera diterbitkan Desain besar otonomo Daerah sebagai dasar pembentukan daerah otonom baru. Hal menarik disampaikan oleh Djaweng adalah untuk mewujudkan desentralisasi maka DPD memiliki peran dengan memperkuat fungsi representasinya.

Siti Zuhro mengatakan bahwa otonomi daerah hanya bisa dilaksanakan jika demokrasi dilaksanakan dan tergantung _will_ dari pemerintah. Fakta sekarang, otonomi daerah sudah tidak dinihilkan oleh lahirnya berbagai aturan seperti Undang-Undang Cipta kerja, Undang-Undang Minerba. Bahkan pelaksanaan pilkada secara serentak secaar nyata wujud sentralisasi. Terkait IKN, Zuhro menyatakan bahwa Undang-Undang IKN dibuat secara tergesa-gesa. Hal itu ditunjukkan dengan kurang transparan dan kurangnya partisipasi publik didalam proses penyusunan regulasi. hal itulah yang menyebabkan Undang-Undang baru dilaksanakan, sudah dilakukan revisi.
Narasumber lainnya, Halilul menyatakan bahwa keberadaan daerah otonom merupakan mandat konstitusi, bukan perintah eksekutif (presiden). Daerah otonom tidak sama dengan pemerintah daerah (kepala daerah). Sehingga daerah otonom bukan instansi atau unit organisasi birokrasi yang menjalankan fungsi administrasi. Daerah otonom menjalankan fungsi politik yang dimiliki oleh rakyat daerah itu. Halilul menegaskan bahwa pelaksanaan desentralisasi akan memperkuat negara dan mencegah separatisme.
Halilul pun mengamini pernyataan Djaweng dan Zuhro yang menyatakan bahwa adanya kecenderungan sentralisasi. Hal itu ditunjukkan dengan munculnya fenomena penarikan kewenangan daerah menjadi kewenangan pusat, seperti perizinan, pertambangan, kelautan dan anggaran.

Kesimpulan dari RDPU tersebut antara lain, pelaksanaan desentralisasi/otonomi daerah perlu ditata ulang melalui revisi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah; dibutuhkan segera Peraturan Pemerintah terkait Penataan Daerah dan Desain besar Otonomi daerah dan mencabut moratorium bembentukan daerah otonom. Terkait revisi Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara, revisi dilakukan memperhatikan secara sungguh-sungguh UUD 1945, Pasal 18, 18 A dan 18 B dan memperhatikan pandangan DPD RI, serta DPD RI berperan pelaksanaan desentralisasi dengan memperkuat pelaksanaan fungsi representasi.***

Kasubbag Persidangan Set Komite I
Halim: +6281322239684
[8/29, 20:01] *ars: Siaran Pers Komite I
29 Agustus 2023

Judul:
BAHAS KEPASTIAN PEMILU DAN KAMPANYE DI TEMPAT PENDIDIKAN SERTA TEMPAT IBADAH, KOMITE I DPD RI ADAKAN RAKER DENGAN KETUA KPU DAN BAWASLU.
29 Agustus 2023

Serangkaian tahapan Pemilu 2024 telah dilaksanakan sejauh ini, namun masih ada isu-isu tentang adanya upaya-upaya untuk melakukan penundaan Pemilu oleh pihak-pihak tertentu. Di samping itu, pada tanggal 15 Agustus yang lalu MK telah mengetok Putusan No. 65/PUU-XXI/2023 tentang Pengujian UU No. 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD Tahun 1945. Dalam putusan tersebut terdapat substansi yang sangat menarik perhatian publik yaitu diizinkannya pelaksanaan kampanye Pemilihan Umum di lingkungan tempat pendidikan fasilitas pemerintah yang sebelumnya dilarang. Pelaksanaan kampanye di tempat-tempat tersebut di satu sisi dapat bermanfaat untuk memberikan pendidikan politik bagi masyarakat, tetapi di sisi lain juga berisiko memunculkan masalah. Apalagi ketentuan teknis yang menjabarkan Putusan MK tersebut sampai saat ini masih dalam proses revisi.

Karena itu, untuk membahas isu tersebut, Komite I DPD RI, Ketua KPU RI dan Ketua Bawaslu RI melakukan Rapat Kerja yang bertempat di Ruang Sriwijaya Gedung B Komplek DPD RI Senayan Jakarta (29/08).

Dalam Rapat Kerja ini, Ketua KPU Hasyim Asyari menyampaikan bahwa berdasarkan Konstitusi dan undang-undang, Pemilu diadakan secara reguler setiap 5 tahun sekali. Teknis jadwal tahapan Pemilu diatur lebih lanjut dalam UU No. 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Berdasarkan durasi tahapan waktu yang ditentukan UU, dapat dinyatakan bahwa pemilu _on progress dan on the track_ sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, tahapan Pemilu tetap berjalan terus dan tidak ada niatan KPU untuk melakukan penundaan Pemilu.

Terkait dengan tahapan kampanye, lanjut Asyari, khususnya kampanye di tempat-tempat tertentu seperti lembaga pendidikan, tempat ibadah dan fasilitas pemerintah “seolah-olah” terdapat pertentangan ketentuan. Pasal 280 ayat (1) huruf h melarang kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah. Namun di penjelasannya terdapat pengecualian yang membolehkan, asalkan mendapatkan izin dari pengelola tempat tersebut dan tidak menggunakan atribut kampanye Pemilu. Pasal inilah yang kemudian di uji materiil di MK, walaupun sebenarnya tidak ada pertentangan antara ketentuan Pasal dan penjelasannya. Pada dasarnya, kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah adalah dilarang tetapi terdapat pengecualian. MK kemudian merumuskan bahwa kampanye di tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah pada dasarnya dilarang kecuali mendapatkan izin dari pengelola tempat tersebut dan tidak menggunakan atribut kampanye. Tetapi untuk kampanye di tempat ibadah adalah dilarang tanpa pengecualian.

Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja mengkhawatirkan tahapan yang berdekatan antara Pemilu dan Pilkada. Setelah Pemilu pada Februari 2024, proses akan segera dilanjutkan dengan tahapan Pilkada. Hal ini memerlukan perencanaan dan kesiapan yang matang dari KPU. Selain itu, menjelang Pemilu dan Pilkada 2024, juga perlu adanya penguatan Task force pengawasan Pemilu di media sosial.
Selanjutnya, terkait dengan kampanye pemilu di tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah, menurut Ahmad Bagja, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, menyangkut metode kampanye yang tepat di tempat pendidikan, apakah dimungkinkan pertemuan besar, atau dibatasi hanya model debat dan pertemuan terbatas. Kedua, dilihat dari tingkatan pendidikannya, apakah kampanye hanya diperbolehkan di level Perguruan Tinggi saja atau termasuk juga SMA. Akan tetapi, kampanye di lembaga pendidikan SMA memerlukan kajian lebih lanjut karena di tingkatan pendidikan ini tidak semua siswa sudah memiliki hak untuk memilih. Selain itu, sebagai dampak dari covid-19, terdapat banyak ketertinggalan kegiatan belajar mengajar di SMA yang harus dikejar sekarang ini. Ketiga, menyangkut kriteria atribut kampanye, seperti apa spesifikasinya. Hal-hal seperti inilah yang menurut Ahmad Bagja harus diatur secara detil dalam revisi Peraturan KPU No. 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum.

Dalam kesempatan Rapat Kerja ini juga disepakati untuk menjadikan prioritas berbagai potensi masalah diantaranya antisipasi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan dalam kampanye di tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah seperti adanya polarisasi, tarik menarik kepentingan politik dan gejolak lainnya, kesamaan persepsi atau sinkronisasi pemahaman antara pengawas Pemilu di tingkat pusat dengan pengawas di bawahnya seperti Panwascam dalam implementasi aturan kampanye, pengaturan secara spesifik terkait dengan kriteria dan pembatasan kampanye di tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah. Selain itu, kampanye di tempat pendidikan harus lebih diarahkan kepada pendidikan politik dan unjuk kualitas ide/gagasan dari calon.

Rapat Kerja yang dimulai pada pukul 14:30 WIB ini berakhir pada pukul 17.30 WIB dengan menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : *Pertama* , Komite I DPD RI, KPU RI dan Bawaslu RI sepakat bahwa semua tahapan Pemilu akan dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. *Kedua* , Komite I DPD RI mendesak KPU RI untuk segera merevisi Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum sebagai konsekuensi dari terbitnya Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 untuk memudahkan para peserta Pemilu dalam memahami teknis pelaksanaan kampanye Pemilu di tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah. *Ketiga* , Komite I DPD RI memastikan KPU RI untuk memberikan ketentuan yang jelas dan tidak multitafsir terkait dengan kriteria Kampanye Pemilihan Umum di tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah. *Keempat* , Komite I DPD RI memastikan KPU RI dan Bawaslu RI agar adanya persamaan persepsi di semua tingkatan penyelenggara dan pengawas Pemilihan Umum terkait teknis pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum di tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah. *Kelima* , Komite I DPD RI memastikan KPU RI dan Bawaslu RI untuk mengawal sepenuhnya Kampanye Pemilihan Umum di tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah untuk menjamin agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan aman, nyaman dan tidak terjadi gejolak. *Keenam* , Komite I DPD RI bekerjasama dengan KPU RI dan Bawaslu RI untuk melakukan sinergisitas dalam sosialisasi mendukung kesuksesan Pemilu dan Pilkada 2024.***

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

iklan

iklan

Latest