OCMHS,Metrotalenta.online–Syekh Muhammad Saleh Silungkang,Ulama Dan Tokoh Dunia Pendidikan Di Minangkabau,Silungkang , salah satu Nagari yang terletak di Provinsi Sumatera Barat tepatnya di Kecamatan Silungkang Kota Sawahlunto pernah menjadi salah satu pusat pengajaran Islam berbasis surau di Minangkabau.
Tidak hanya pusat pengajaran Islam, di Surau Godang ini dulunya juga adalah salah satu pusat pendidikan terkenal di Minangkabau dibawah asuhan seorang ulama bernama Syekh Muhammad Saleh (juga dikenal dengan nama Toeankoe Silungkang atau Syekh Barau).
Mengutip MAS`UD ZEIN dalam Sistem Pendidikan Surau , Surau-surau dengan para Ulama besar yang terkenal pada masa sebelum Padri antara lain :
– Surau Syekh Burhanuddin Ulakan, Pariaman pusat pengembangan ajaran tarekat Sattariyah
– Tuanku Mansiang Nan Tuo yang mendirikan surau di Koto Gadang yang terkenal sebagai pusat ilmu mantiq dan ma’ani
– Surau Koto Tuo (Tuanku Nan Tuo) Agam yang memiliki distingsi dalam bidang tafsir
– Surau Sumanik, terkenal dalam hal ilmu tafsir dan fara’id
– Surau Kamang, tersohor dalam hal ilmu bahasa Arab
– Surau Talang, dan Surau Salayo, yang keduanya terkenal dalam bidang ilmu Nahu-Sharaf.
Pasca perang Padri, surau besar yang masih bertahan diantaranya adalah Surau Tuanku Syekh Silungkang (Syekh Muhammad Saleh) dan Surau Batuhampar yang diasuh oleh Syekh Abdurrahman (kakek Bung Hatta), saudara seperguruan Syekh Muhammad Saleh.
Dosen IAIN Bukittinggi Apria Putra Ongku Mudo Khalis dalam artikelnya berjudul Maulana Syekh Isma’il al-Khalidi al-Minangkabawi di situs tarbiyahislamiah.id menulis, Syekh Muhammad Saleh dan Syekh Abdurrahman Batuhampar (kakek Bung Hatta) adalah murid Syekh Ismail Al Khalidi Al Minangkabawi ( yang pertama kali mengembangkan tarekat Naqsyabandiyah di Sumatra Barat ) sehingga dapat diperkirakan usia Syekh Muhammad Saleh Silungkang dan Syekh Abdurrahman Batuhampar ( lahir tahun 1777-1899 ) takkan terpaut jauh.
(*Naqsyabandiyah adalah pakaian besar ulama-ulama di pedalamanan Minangkabau; pusaka yang diwariskan. Sebut saja ulama-ulama kenamaan di darek, Syekh Isma’il al-Khalidi Simabur, Syekh Abdul Halim Labuh, Syekh Faqih Shaghir Tuangku Samiak, Syekh Abdurrahman Batuhampar, Syekh Mustafa al-Khalidi, Syekh Muhammad Saleh Silungkang, Syekh Thahir Barulak, Syekh Jamil Tungkar, Syekh Thaha Limbukan, dan lain-lain. Hingga generasi terakhir, Syekh Sulaiman Arrasuli, Syekh Jamil Jaho, Syekh Abbas Qadhi, Syekh Abdul Wahid Asshalihi, Syekh Abdul Majid Koto nan Gadang, dan banyak lainnya, mereka semua adalah “al-Khalidi”, yaitu Naqsyabandiyah Khalidiyah)
Surau Silungkang ini juga menjadi tempat tujuan ziarah dan persinggahan para pedagang dari dataran tinggi minangkabau menuju daerah rantau, demikian pula sebaliknya.
Yusri Akhimuddin dalam tulisanya (Naskah [Asal Khilaf Bilangan Taqwim] – Relasi Ulama-Umara di Minangkabau Abad ke-17 dalam Penetapan Awal Ramadhan) menggambarkan bahwa tiap-tiap bulan Juli, Agustus dan September (setelah masa panen padi) banyak orang Rantau melewati daerah ini (Silungkang) secara berkelompok yang terdiri dari delapan, sembilan hingga dua puluhan orang, melewati daerah Sijunjung.
Kebanyakan dari mereka berasal dari Rantau Kwantan (Kuantan), Rantau Batang Hari, Rantau Toba (Tebo), Rantau Boenga (Bungo), Rantau Pelapat, Rantau Soengei, Rantau Batang Asei, Rantau Singginggi (Singingi) dan Tabir, Korintji (Kerinci) serta XII Kota.
Tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang ketua rombongan yang disebut Tuo Galeh (galeh artinya barang dagangan), yang merupakan pedagang asli yang memiliki anggota-anggota sebagai anak buah (anak galeh) yang nantinya dibayar dengan kain setelah perjalanan selesai.
Namun, tujuan dari perjalanan ini tidak hanya untuk berdagang. Banyak dari orang Rantau tersebut mengunjungi surau-surau di Padang Darat (wilayah ini jadi serambi Islam di Sumatra), khususnya yang ada di Sijunjung, Tjaloe dekat Moeara, surau di Ambeh di Padang Siboesoek dan sebuah di Silungkang (semuanya ada di distrik Koto VII) untuk Ziarah ataupun belajar ilmu Agama.
Arnold Willem Pieter Verkerk Pistorius seorang ilmuwan yang melakukan penelitian tentang Islam di Nusantara , saat melakukan riset di Minangkabau, dalam laporannya yang ditulis dan dipublish pada tahun 1869, 1871, 1875 dan 1883 menuliskan catatan tentang keberadaan surau-surau besar pada masa itu antara lain Surau Taram, Surau Koto Tuo, Surau Cangkiang, Surau Pasir, Surau Laboh (Tanah Datar), Surau Padang Gantiang, Surau Simabur, Surau Pangean, Surau Piei (Laras Salajoe), Surau Muara Panas, Surau Kota Hanou, Surau Kasih, Surau Singkarah, Surau Siloengkang, Surau Padang Sibusuk dan Surau Calau.
Dirangkuman dari tulisan AWP. Verkerk Pistorius yang bertemu dan melakukan wawancara langsung dengan Syekh Muhammad Saleh didapat gambaran bahwa Syekh Muhammad Saleh adalah Ulama yang sangat dihormati karena kesalehan dan pengetahuannya yang yang mendalam tentang kitab suci.
Syekh Muhammad Saleh lahir di Silungkang dari keluarga berada yang taat dalam menjalankan perintah Agama Islam. Ia melewati masa kecil seperti yang lainnya, siang hari membantu orang tua dan malam hari belajar Agama dan Ilmu lainnya disurau .
Di usia 11 atau 12 tahun, Syekh Muhammad Saleh meninggalkan kampung halamannya nya untuk menimba ilmu ke sejumlah guru, dari surau ke surau. Hal inilah yang membentuk karakternya dalam meniti jalan kehidupan hingga menjadi seorang ulama besar pada masanya.
Beberapa surau telah dimasukinya untuk mengaji dan menimba ilmu hingga suatu saat terbersit keinginan untuk mendalami ilmu langsung ke Mekah Al Mukaromah. Berangkat dari niat tersebut, ia bersama 20 orang rekannya bergerak secara estafet mulai dari pariaman lantas naik kapal menuju Pulau Pinang, Semenanjung Malaka dan kemudian meneruskan pelayaran ke Arab Saudi yang ditempuh selama berbulan-bulan untuk Sampai di Jeddah Saudi Arabia.
Dari Jeddah, dengan diantar oleh seorang ulama asal Lintau Buo, Tanah Datar bernama Syekh Achmad yang telah tinggal di Arab sejak masa kanak-kanak perjalanannya dilanjutkan ke negeri Mekah. Syekh Ahmad juga yang membantunya mencarikan rumah kos khusus untuk orang-orang Melayu disana.
Selama berada di Mekkah, siang hari waktunya dihabiskan membuat kerajinan tangan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan malam hari beliau mendatangi masjid untuk memperdalam ilmu agama.
Setelah menetap dan menimba ilmu di negeri Mekkah selama kurang lebih 10 tahun, Syekh Muhammad Saleh atau Toeankoe Silungkang atau yang juga dikenal dengan nama Syekh Barau kemudian kembali ke Tanah Air melalui jalur Malaka.
Di Malaka, Syekh Muhammad Saleh sempat menetap beberapa waktu lamanya atas permintaan raja Malaka yang meminta sang Syekh untuk mendidik putra mahkota kerajaan Malaka.
Sekembalinya dari Tanah Suci dan setelah sempat berdiam selama beberapa waktu di Malaka, Syekh Muhammad Saleh mendirikan lembaga pendidikan surau bertempat di lokasi yang dikenal dengan nama Surau Godang Silungkang.
Mengutip Moenir Taher dalam tulisannya (keterangan surau godang dan tanahnya) , pembangunan surau godang ini dilakukan secara bersama-sama dengan dukungan dan bantuan masyarakat daerah sekitar di antaranya untuk tonggak dan pekayuan sebagian besar dari Pianggu dan Tarung-Tarung, ada juga masuk sedikit Indudur dan lainnya, tukang yang bekerja semuanya dari Kubung 13 sampai dari bagian Alahan Panjang.
Di Surau Godang Silungkang inilah Syekh Muhammad Saleh berjuang amar makruf nahi munkar, menyebarkan ajaran Islam dan juga ilmu duniawi lainya yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
kurikulum pendidikan di Surau Silungkang sangat fleksibel namun tetap dengan penekanan pada pendidikan moral sembari memperkokoh ikatan personal antar murid . Verkerk Pistorius bahkan menyarankan kepada para pakar pendidikan Belanda yang berusaha membuat perubahan dalam masyarakat di nusantara sebaiknya mengikuti teladan dari Syekh Muhammad Saleh ini.
Verkerk Pistorius pada risetnya tersebut bahkan menganggap Surau Silungkang adalah Surau terbesar dan terindah di dataran tinggi Minangkabau dengan jumlah murid lebih dari 1000 orang Satriwan dan santriwati.
Dari memoar masa Padri oleh Syekh Jalaluddin diketahui mengenai pergerakan reformasi Islam akhir abad ke-18 di Sumatra Barat. Sekolah-sekolah dan jaringan-jaringan ulama bersifat kosmopolitan dan tidak selalu berbasis kampung. Kaum reformis, dengan jubah Arab yang mencolok, mulai masuk ke jantung wilayah itu. Dan pusat-pusat tarekat yang penting, dengan guru-guru yang sangat hebat, sudah lama menarik calon murid.
Sebelum memenangi Perang Padri, pada 1833, Belanda sudah menyadari perlunya pendidikan Barat di dataran tinggi itu. Ia menulis, pada 5 April 1824, Kolonel Nahuijs mengeluh bahwa hanya di Padang, di mana seorang “pe-misi Inggris Evangelikal Mr. Evans” berhasil mengumpulkan dana yang cukup untuk mendirikan sekolah bergaya Barat. (memoar Jalaluddin adalah satu-satunya sumber real informasi mengenai pendidikan Minangkabau prakolonial)
Setelah sekolah-sekolah kolonial didirikan selama pertengahan abad ke-19, pejabat-pejabat Belanda memberikan perhatian kepada kehadiran suatu jaringan surau-surau yang meluas jauh di luar kampung dan nagari.
Adapun bangunan utama Komplek Surau Godang ini terdiri dari 7 rumah kayu dimana 2 untuk murid perempuan dan 7 untuk laki-laki yang sebagian besar berasal dari daerah lain. Setiap surau (rumah kayu kecil) menampung 20 hingga 30 orang murid dibawah asuhan seorang guru tuo (guru senior)
Dibawah asuhannya dengan dibantu sembilan ulama yang berasal dari dalam dan luar daerah, syiar Islam di Silungkang berkembang pesat. Adapun kesembilan ulama lainya itu adalah:
1. Syekh Mohd. Thaib Ongku Surau Lurah (Tanah Sirah)
2. Syekh Akmad Ongku Surau Tanjung (Dalimo Tapanggang)
3. Syekh Abdurrahman Ongku Surau Bulek (Dalimo Jao)
4. Syekh Abdullah Ongku Surau Godang (Tanah Sirah)
5. Syekh Abubakar Ongku Surau Palo (P. Rumah Nan Panjang)
Kelimanya tokoh negeri Silungkang dan
1. Syekh Abdul Rahman Ongku Talowi
2. Syekh Abdullah Ongku Lunto
3. Syekh Abdullah Ongku Surau Ambacang Koto Anau
4. Syekh Muhammad Ongku Kotobaru Palangki , berasal dari luar daerah .
Sepuluh tahun setelah Verkerk Pistorius mengadakan risetnya, ” Christiaan Snouck Hurgronje ” seorang sarjana Belanda budaya Oriental dan bahasa serta Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda mengunjungi Surau Godang Silungkang ini. Ia melakukan riset dan meneliti traktat-traktat religius yang terdapat di surau ini. Dia sangat tertarik kepada tulisan-tulisan huruf Jawi [Melayu Arab], marginalia Minangkabau yang menafsirkan teks Arab.
Walaupun dia sangat terkesan, Snouck Hurgronje (Dutch ordinary professor) mewanti – wanti bahwa kecil kemungkinan semua murid mencapai level kepakaran guru-guru mereka.
Syekh Muhammad Saleh atau Toeankoe Siloengkang dan juga dikenal dengan Syekh Barau, berpulang kepangkuan Ilahi Robbi pada hari Sabtu, 29 Zulhijjah 1288 H / 9 Maret 1872.
Sepeninggal Ulama yang juga salah satu tokoh pendidikan di Minangkabau ini, Surau silungkang secara perlahan mengalami kemunduran karena tak seorangpun diantara keturunan atau para muridnya mampu meneruskan perjuangan beliau.
– Jum’at, 4 Februari 2022 – Marjafri “Komunitas Anak Nagari Sawahlunto”
* Sumber / Referensi :
– HET BUDGET YAN BRITSCH INDIE, DE PRIESTER EN ZIJN INVLOED OP DE SAMENLEVING IN DE PADANGSCHE BOVENLANDEN, September, 1869.
– De volksinstellingen der Padangsche Bovenlanden – Studiën over de inlandsche huishouding in de Padangsche bovenlanden, door A.W.P. Verkerk Pistorius. Zalt-Bommel, Joh. Noman en Zoon, 1871.
– HET NEDERLANDSCHE VOLK DOOR MR. P. A. VAN DER LITH , Hoogleeraar aan de Rijks- instelling voor Indische taal-, land- en volkenkunde te Leiden , Officier van de Orde van de Eikenkroon (1875)
– BIJDRAGEN TOT DE TAAL. LAND . EN VOLKENKUNDE VAN NEDERLANDSCH – INDIË, ‘ S GRAVENHAGE ,MARTINUS NIJHOFF, 1883,
* C. Snouck Hurgronje, “Een en Ander over het Inlandsch Onderwijs in de Padangsche Bovenlanden”, Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde.
– https://tarbiyahislamiyah.id/maulana-syekh-ismail-al-khalidi-al-minangkabawi/?amp=1
– Sengketa Tiada Putus. Matriarkat, Reformisme Agama dan Kolonialisme di Minangkabau oleh “Jeffrey Hadler”.
– SISTEM PENDIDIKAN SURAU : KARAKTERISTIK, ISI, DAN LITERATUR KEAGAMAAN – MAS`UD ZEIN
– Naskah [Asal Khilaf Bilangan Taqwim]: Relasi Ulama-Umara di Minangkabau Abad ke-17 dalam Penetapan Awal Ramadan (Yusri Akhimuddin)
– https://jaringansantri.com/buya-datuak-sati-dan-syekh-mukhtar-engku-lakuang/
– https://munirtaher.wordpress.com/2008/
– Surau: Pendidikan Islam Tradisi dalam Transisi dan Modernisasi
Oleh Prof. Azyumardi Azra, Ph.D., M.Phil., M.A., CBE.
– https://munirtaher.wordpress.com/2007/ 05/12/silungkang-serambi-mekah/
– http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/ cagarbudaya/detail/PO2018111600400/makam-syekh-barau-silungkang