Senin, Desember 23, 2024

Neraka Di Perut Bumi Sawahlunto

More articles

OCMHS,metrotalenta.online–Neraka Di Perut Bumi Sawahlunto kota yang terlahir dari adanya penemuan kandungan Batubara berlimpah oleh Kolonial Belanda adalah kota yang identik dengan aktifitas dunia pertambangan.
Theodore felix albert delprat

Kota yang di bangun dengan tetes keringat , airmata , darah dan nyawa para pendahulu di mana mereka di pekerjakan di ladang – ladang batubara secara paksa bahkan di luar batas kemampuan manusia.

Kota yang identik dengan kerja paksa dan perbudakan seperti yang di ungkapkan oleh salah seorang Kritikus Sosialis pada tahun 1928 , ” SAWAHLUNTO KOTA PERBUDAKAN MODERN ” dimana hal tersebut terjadi secara menyeluruh dalam bentuk kerja paksa yang tidak saja dilakukan terhadap para tahanan ” Orang Rantai ” tetapi juga terhadap para pekerja kontrak yang berasal dari Jawa dan Cina (yang disebut ‘kuli’).

Aktifitas penambangan menggunakan beliung di tambang terbuka pada tahun 1891 dengan diapit oleh dua orang pengawas eropa

Dari foto – foto dokumentasi yang di buat oleh salah satu insinyur utama yang menjadi kepala pertambangan batu bara Ombilin sekitar pergantian abad , Théodore F Delprat (1851-1932) menggambarkan kondisi tambang, tempat tinggal para insinyur Eropa, jembatan dan fasilitas kota lainnya pada akhir abad kesembilan belas.

Hukuman pukulan rotan di sawahloento

Dokumentasi tersebut antara lain memuat ratusan foto rel kereta api, jembatan, dan lanskap serta Salah satu foto juga menunjukkan pekerja Indonesia sedang melakukan aktifitas penambangan menggunakan beliung di tambang terbuka pada tahun 1891 dengan diapit oleh dua orang pengawas Eropa yang di pajang pada Museum Nasional Kebudayaan Dunia .

Ir. Delprat secara teratur memberikan deskripsi dalam tulisan tangannya pada sudut atas foto – foto itu. Namun, selain memberikan wawasan tentang pemerintah kolonial yang berkuasa, foto-foto itu tidak menunjukkan fakta bahwa pekerjaan penambangan Batubara ini di lakukan oleh para pekerja yang di paksa dan terikat kontrak.

*Neraka di bumi

Tahun 1994, dalam sebuah tesis doktor yang diterbitkan oleh Carin van Empel di Leiden tentang kondisi kerja pekerja kontrak di Sawahlunto dan lima tahun kemudian Erwiza Erman saat memperoleh gelar doktor tentang sejarah sosial budaya tambang Ombilin pada umumnya terkuaklah kondisi sebenarnya yang di alami para pekerja tambang tersebut. “Sebuah tinta sejarah diuraikan dalam publikasi nya”.

Erwiza Erman (Saat ini adalah Profesor Riset Bidang Sejarah Pertambangan dan Peneliti LIPI) pada tesisnya menunjukkan bagaimana tambang itu bergantung pada tenaga kerja kontrak, yang diatur oleh kekerasan institusional kolonial. ( Pada tahun 1896 tambang itu memiliki 1.234 penambang yang semuanya adalah para pekerja paksa atau yang sering di sebut Orang Rantai ).

Pada tahun 1921, tambang Ombilin memiliki 11.046 pekerja dimana sebagian besar terdri dari para pekerja paksa dari Jawa serta sebagian kecil pekerja bebas dan dan pekerja kontrak yang direkrut dari Cina dan Jawa (beberapa di antaranya berusia masih sangat muda). Para pekerja yang terakhir yaitu pekerja kontrak harus tunduk pada peraturan kuli / “Koeli Ordonantie ” yang di buat tahun 1880 dimana para pengawas Eropa dapat saja mengadili orang-orang ini sesuai keinginan mereka sendiri.

*Hukuman Buluh.

Hukuman dengan cara ini Ini belum pernah terjadi sebelumnya . Persentase orang yang menjadi korban dari hukuman pukulan tongkat rotan (disebut dengan istilah ‘pukulan buluh’) sangat tinggi.

Pada laporan tahun 1925, telah terjadi pelaksanaan hukuman pukulan rotan ini dengan jumlah mencapai 6,5% dari total jumlah para pekerja paksa . Kritikus kontemporer bahkan mengklaim bahwa pantat beberapa narapidana / pekerja paksa ini digosok dengan yodium untuk lebih meningkatkan rasa sakit, menempatkan pekerja yang tidak mau bekerja di meja listrik, dan menembak orang yang melarikan diri “untuk menakut-nakuti mereka.”

Prof. Erwiza Erman juga membeberkan dalam tesisnya bahwa dalam kasus ini bukan hanya supervisor Eropa saja yang bersalah karena menganiaya pekerja, tetapi juga supervisor dan polisi Indonesia yang turut melakukan tindakan ini demi menyenangkan supervisor Eropa mereka. Mereka juga bekerja sama dengan penduduk setempat untuk mencari dan membawa kembali para pekerja yang melarikan diri dengan membayar upah bagi setiap pekerja paksa yang dapat di kembalikan ke tambang.

Mengutip laporan hasil penelitian Inspektorat Tenaga Kerja Nederlandsche Indie tahun 1926 dengan judul “Di Tambang Batubara Negara Sawah Loento (Ombilin), 55 persen kuli kontrak dihukum dengan rotan”, tertulis aksi pelarian besar – besaran dari ratusan kuli tambang batu bara pemerintah di Sawah Loento (Ombilin) yang menyebabkan Inspektorat Tenaga Kerja melakukan penyelidikan secara menyeluruh.

Pada penyelidikan tersebut terungkap fakta penyebab terjadinya pelarian besar-besaran ini disebabkan oleh beberapa kondisi yang terjadi yaitu :

I. Penipuan dalam proses Rekrutmen Kuli. Orang Jawa, cina , tidak tahu apa sesungguhnya yang akan mereka hadapi dimana kelak hari demi hari mereka mesti turun dalam kegelapan perut bumi untuk bekerja sementara para perekrut kuli yang tidak bermoral menganggap tidak perlu menunjukkan kesengsaraan yang akan di hadapi para pekerja ini nantinya untuk memancing mereka meninggalkan sawah dan ladang mereka yang damai dengan memberikan harapan dan janji – janji manis.

2. Asimilasi dengan pekerja paksa.
Kuli-kuli ‘bebas’ yang direkrut ke Sawah-Loento juga dipaksa bekerja hari demi hari dengan para pekerja paksa yang dijatuhi hukuman multi-tahun !!!
Gambaran yang lebih jelas tentang kenyataan ini adalah bahwa “Setiap pekerja bebas atau tidak bebas bagi pengusaha hanyalah sekedar objek eksploitasi” .

3. Hukuman berat.
Ternyata 55 persen dari para pihak yang menandatangani perjanjian kontrak bila melarikan diri karena terlihat enggan, malas bekerja dll. akan di kenai sangsi pukulan cambuk dengan rotan.
Artinya …
di Sawah Loento, dua puluh orang per-hari membungkuk di bawah pukulan rotan. Artinya …
telah terjadi enam puluh ribu kasus hukuman pukulan rotan per tahun di satu perusahaan pemerintah !!!

Laporan lebih lanjut mengatakan:
~Pada beberapa kasus, terjadi pengulangan hukuman rotan yang brutal sehingga lebih bersifat penganiayaan sehubungan dengan luka yang diderita serta kurangnya perawatan medisdi Sawah Loento.

*Melarikan diri

Henri van Kol, Anggota Parlemen untuk SDAP yang mengunjungi Sawahlunto pada awal abad kedua puluh menyatakan bahwa pada sekitar pergantian abad telah terjadi pelarian besar – besaran dimana terdapat sekitar 100 orang sebulan melarikan diri dari tambang. Erwiza Erman berpendapat bahwa jika itu benar, maka itu berarti pada tahun 1902, sekitar 57% dari populasi para pekerja paksa ini melarikan diri setidaknya satu kali.

Fenomena ini terjadi berulang kali pada dekade-dekade awal abad kedua puluh. Kelompok pekerja yang melarikan diri bahkan membentuk komunitas masyarakat mereka sendiri di daerah pelariannya. Pada tahun 1914, surat kabar Het Nieuws van den Dag untuk Hindia Belanda melaporkan bagaimana para penambang yang melarikan diri dan ditangkap memohon untuk tidak dibawa kembali ke “NERAKA DI SAWAHLUNTO”.

*Perjuangan untuk Bertahan Hidup

Kenyataan diatas menunjukkan bagaimana bentuk pelaksanaan kekuasaan yang dilakukan secara brutal dan tanpa batas yang belum pernah terjadi sebelumnya bahkan dilegitimasi dan di normalisasi hingga abad kedua puluh.

Pada tahun 1899, misalnya, seorang dokter mencatat bahwa angka kematian sangat tinggi di Sawahlunto jika dibandingkan dengan penjara dan kamp pemasyarakatan lain di daerah koloni Belanda (7,5% penambang meninggal pada tahun 1896). Dia berpendapat bahwa ini terutama sekali disebabkan oleh beban kerja yang sangat berat yang mesti dijalani para pekerja karena peningkatan permintaan batu bara . Para pekerja hanya memiliki 17 hari istirahat dalam 183 hari .

“INI ADALAH BATAS MAKSIMUM YANG BISA DITANGGUNG OLEHANUSIA SECARA FISIK “.

Kondisi kesehatan juga sangat menyedihkan . Hampir setiap pekerja tertular penyakit cacing tambang pada tahun 1901 sebagai akibat dari kondisi kebersihan yang sangat buruk dan air minum yang terkontaminasi . Tidak ada jamban, para pekerja melakukan aktivitas tanpa memakai sepatu bot untuk mencegah bisul dan luka. Jadi, tanpa perlindungan dari goresan batu dan larva , para penambang terus bekerja tanpa alas kaki.

Nyaris seluruh karyawan terjangkit penyakit cacing tambang pada tahun 1901 tersebut sebagai akibat dari kondisi kebersihan yang sangat buruk dan air minum yang terkontaminasi sehingga membuat para dokter nyaris ‘menyerah’ .

Bekerja di tambang adalah perjuangan untuk bertahan hidup. Makanan yang dibagikan, nasi dengan telur bebek, beberapa daging atau ikan, dan beberapa sayuran, tidak hanya tidak memadai untuk pria yang melakukan aktivitas fisik berat selama sehari penuh tetapi juga rentan terhadap korupsi. Para pemimpin Eropa secara teratur mengurangi porsi makanan dan orang-orang yang membagikan makanan menyembunyikan makanan untuk diri mereka sendiri serta penyajiannya yang kerap terlambat.

Pada tahun 1931, ketika langkah-langkah hukuman baru dicari karena sanksi pidana sedang dikurangi, diputuskan untuk tidak memberikan makanan secara gratis kepada pekerja kontrak yang tidak bekerja.

Selain itu, banyak terjadi kecelakaan pertambangan dan kebakaran yang menyebabkan kematian yang tak terhitung jumlahnya. (Beberapa di antaranya di duga dapat dihindari).
Ada indikasi bahwa karena mereka bekerja dengan para pekerja paksa dan pekerja kontrak maka langkah-langkah keamanan tidak begitu diperhatikan. Misalnya, pada tanggal 29 Januari 1928, sebanyak tiga puluh lima orang pekerja tewas karena tidak bisa keluar dari tambang karena pintu masuk ke lokasi lobang tambang tersebut ditutup (tindakan yang diambil untuk mencegah pelarian saat bekerja).

Pada tahun 1896, sebuah ledakan besar terjadi di tambang, yang menewaskan ‘selusin’ pekerja paksa. Baru kemudian diputuskan untuk membeli lampu keselamatan dari Eropa. Bagi insinyur Van Sandick, itu adalah alasan untuk mengungkapkan kecurigaan bahwa nyawa pekerja paksa mungkin tidak terlalu diperhitungkan di perusahaan pertambangan …

Suatu pagi sekitar pergantian tahun 1934, sekelompok penambang tertimbun tanah longsor akibat tindakan sembrono dari mandor Eropa Van Motman . Pasca tragedi, semua upaya penyelamatan kemudian difokuskan pada Van Motman yang juga jadi korban , tetapi ternyata sia-sia: ia tewas dalam kondisi tubuh termutilasi. Dua jam kemudian, ketika perusahaan berhasil menemukan dua pekerja Indonesia yang tidak disebutkan namanya, mereka juga ditemukan dalam keadaan tewas.

kehidupan sosial di Sawahlunto juga membentuk lingkaran yang eksplosif: awalnya pekerja kontrak, tahanan dan pekerja bebas bekerja dan hidup bersama dengan semua ketegangan yang menyertainya.

Kekerasan seksual – homoseksualitas adalah fenomena umum dalam masyarakat eksklusif yang didominasi oleh kaum laki-laki – pembunuhan dan pertengkaran untuk hal -hal kecil sekalipun adalah hal yang biasa. Pejabat Eropa pun mengikuti kekerasan internal ini dan tidak mengarah pada solusi damai, tetapi justru membuat situasi yang semakin meningkat dalam kehidupan masyarakat yang diperintah dengan kekerasan dan supremasi hukum.

*Sumber referensi =
1. carolinedrieenhuizen. wordpress.com /2019/07/11/sawahlunto-werelderfgoed-en-hel-op-aarde/amp/
2. Bevrijding – ORGAAN V. D.BOND V RELIGIEUSE ANARCHO – …. no.46 – Jan 1926
3. het nieuws van den dag ,voor nederlandsch indie – Vrijdag 24 Februari 1928

* Penyunting : Marjafri
“Komunitas Anak Nagari Sawahlunto”.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

iklan

iklan

Latest