Jumat, April 26, 2024

Timbulnya Laras (Lareh) Di Minangkabau

More articles

History,metrotalenta.online–Timbulnya Laras (Lareh) Di Minangkabau,Timbulnya Laras di Minangkabau berawal dimasa ninik Katoemanggoengan dan ninik Perpatih dimana negeri – negeri yang menurut kepada haluan ninik Katoemanggoengan bernama laras Koto Piliang (negeri pelarasan Kota Piliang) dan negeri – negeri yang menurut kepada haluan ninik Perpatih Sabatang bernama Boedi Tjiniago (negeri pelarasan Boedi Tjaniago).

Yang menyebabkan perbedaan haluan ninik Katoemanggoengan dengan ninik Perpatih Sebatang tersebut bermula saat kedatangan seorang bangsa asing ke Alam Minang Kabau ini, mengatakan dirinya seorang raja, dibenarkan oleh ninik Katoemanggoengan namun ditidakkan oleh ninik Perpatih Sebatang dan oleh ninik Sari Maharadja Nego, menyebabkan ninik yang tiga bersaudara itu berselisih dalam hal tersebut seperti dikiaskan dalam tambo :

Datanglah anggang dari laut
ditembak dek datuk nan bertiga
sadatak tiga dentamnya
berkotek ayam dalam telor
mendengus harimau campo
menyalak anjing lari kekota
membebek kambing lari kehutan
melenguh jawi dalam bajak

Maka jatuhlah talur anggang itu kerumah Datuk Soeri di Radja di Periangan Padang Panjang berisi kuda sembarani, berpelana emas sendirinya, berkekang emas sendirinya, yang menghelanya “Anak Dewa di Gunung Merapi”.

Adapun yang dikiaskan dalam tambo itu :
“Datanglah anggang dari laut’’ ialah Seri Padoeka Barhala, (Aditiawarman) orang Hindu yang datang dari Tanah jawa; mengaku raja; walaupun ninik Perpatih Sebatang tidak membenarkan tapi dibenarkan juga oleh ninik Katoemanggoengan dan sampailah pula diterima oleh ninik Katoemanggoengan menjadi ipar, yaitu menjadi suami tuan gadis Djamilan; maka sangatlah sakit hati ninik Perpatih Sebatang kepada ninik Katoemanggoengan; ditikamlah batu oleh ninik Perpatih Sebatang dengan keris panjang untuk melepaskan sakit hatinya.
(sampai sekarang masih ada batu yang bekas ditikam ninik Perpatih Sebatang itu dalam sawah di belakang Koerimbang Batoe Alang di Soengai Tarab, dalam negeri Lima Kaum XII Kota; berlobang-lobang dan berhiro-hiro bekas pamor keris ninik Perpatih Sebatang itu)

Adapun Seri Padoeka Berhala (Aditiawarman, setelah menikah dengan tuan Gadis Djamilan, mulanya berdiam di Periangan Padang Panjang, sangat keras perentahnya, (ada air angat tempat mandinya, sampai sekarang masih ada bekasnya bernama “air angat raja’’) maka orang carilah akal kepada tuan Djamilan supaja dibawa pindah raja itu dari Periangan Padang Pandjang, hingga pindahlah mulanya ke Bukit Batu Patah, dari Bukit Batu Patah turunlah kebaruh bukit, membuat kota negeri, ialah kota Pagaruyung; dan anak Seri Paduka Berhala dengan tuan Djamilan itilah Daulat jang dipertuan Pagaruyung yang permulaan.

Adapun yang berdaulat ke Pagaruyung itu, hanyalah negari – negari Koto Piliang dan “Lima kaoem XII Kota” saja; maka itulah negeri-negeri itu, dinamakan “Lima Kaoem XII Kota Gadjah Gadang Patah Gadingnya’’; karena Lima Kaoem XII Kota itu, mulanya negeri pelarasan Boedi Tjaniago, berjunjungan kepada ninik Perpatih Sebatang, tidak berdaulat ke Pagaruyung; tetapi kemudian tunduk ke Pagaruyung (Gajah Gadang Patah Gadingnya).

Adapun adat kedua pelarasan itu iyalah :
1. laras Koto Piliang, ialah negeri-negeri yang berjunjungan kepada ninik Katoemanggoengan dan yang mau berdaulat ke Pagarroejoeng [loyalisten] moesih banding hukumnya berjenjang naik, manakala perkara adat sampai kepada Datoek Bandharo Sungai Tarab Panitahan, pamuncak Koto Piliang, sampai kerajo nan duo selo, penghabisannya ke Pagaruyung ; manakala perkara Sjarak sampai ke tuan Kadli Padang Ganting, sampai kerajo nan duo sêlo; penghabisannya ke Pagaruyung;

2. laras Boedi Tjaniago, berjunjungan kepada ninik Perpatih Sebatang, tidak berdaulat ke Pagaruyung, hanya negeri – negeri republik, tuahnya sekata, cilakanya bersilang, pusakanya berlubuk nan 3 (Lubuk Sikarah, Lubuk Simaung, Lubuk Si Punai) bertanjung nan 3 (Tanjung Alam, Tanjing Barulak, Tanjung Sungayang) begitupun pada Koto piliang, pusakanya “Bertujuh langgam”.

Dalam tiap-tiap negeri Kota Piliang adalah seorang chalifah ninik Katoemanggoengan, begitupun dalam tiap-tiap negeri Boedi Tjaniago adalah seorang chalifah ninik Perpatih Sebatang, supaya kalau tumbuh kusut penghulu sama penghulu (saandiko samo gadang) dalam senegeri; maka chalifah ninik Katoemanggoengan itulah yang akan bekerja menyelesaikan, “keruh memperjernih”; kalau dalam negeri Koto Piliang; dan chalifah ninik Perpatih Sebatang, itulah yang akan bekerja demikian, kalau kusut penghulu dalam negeri Boedi Tjaniago;

Manakala tidak terselesaikan, undangnya adalah : ‘Kusuik kapak di selisik dek paruah, kumuah parush di apuih dek kapak’ artinya kalau kusut’ di Boedi Tjaniago, tidak terselesaikan oleh Boedi Tjaniago, melainkan di selesaikan oléh Koto Piliang; demikian pula manakala kusut di Koto Pilang, tidak terselesaikan oléh Koto Piliang, melainkan di selesaikan oléh Boedi Tjaniago; karena antara Koto Piliang dengan Boedi Tjaniago, sungguhpun sudah berbagi sawah ladangnya dan emas peraknya; tetapi tidaklah berbagi malu, melainkan “sehina semalu” juga, laras Koto Piliang dengan laras Boedi Tjaniago; dan chalifah-ehalifah ninik

itulah pula yang menjadi pemimpin pada tiap-tiap pelarasan negeri. Chalifah-chalifah ninik nan berdua itulah yang disebutkan dalam sembah menyembah atau dalam pidato, “Basa Batuah” (timbalan Basa Balai); begitupun dalam kabar Tjindoer Mato, ada pula tersebut nama pangkat itu masaitu berdua penghulu naik “besar” (basa). Jadi pangkat Basa (orang besar) itu tempat kanaïkan pangkat penghulu, karena Basa Batuah itoe menjadi chalifah ninik nan berdua pada tiap-tiap pelarasan negeri, hingga orang yang akan djadi chalifah-ehalifah ninik nan berdua itu (jadi Basa Batuah) adalah 10 syaratnya sedang syarat untuk jadi penghulu boleh 6 saja.

Maka oleh Daulat yang dipertuan Pagaruyung, untuk politik, diadakanlah orang di tiap-tiap negeri untuk mengajak negeri – negeri lain untuk berdaulat ke Pagaruyung, dinamakan orang itu sebagai “Urang Gadang Rajo”.

Maka karena politik orang gadang rajo itulah, kemudian ada negeri Boedi Tjaniago yang mau berdaulat ke Pagaruyung hingga balai balairungnya, “Berlabuh Gajah” akan tempat lalu gajah Daulat yang di pertuan, dan beranjung pula akan tempat duduk Daulat, supaya tertinggi, sedangkan rumah beranjung itu langgam (model) rumah Daulat di Pagaruyung, kemudian orang di satu -satu negeri ada yang membuat pula rumah beranjung, padahal yang rumah adat Alam Minang Kabau bukanlah rumah beranjung, melainkan “Rumah Gadang Gajah Maharam Surambi Aceh, selajang kudo balari” 5 atur tonggaknya, baruang tangah, baruang tempat urang sumando, dan baruang bilik, atapnya bagonjong tanduk Alam Minang Kabau.

3. Selain laras nan dua itu, ada lagi “Laras Nan Panjang” namanya, ialah Periangan Padang Panjang sehingga Guguak Sikaladi, sehiliran Batang Bingkawe.

Pisang kalek kalek hutan,
pisang tambatu nan bagatah
Koto Piliang inyo bukan,
Boedi Tjaniago inyo antah.
Hilir ka Indogiri
singgah sabanta kaladang panjang;
dimano mulo balai badiri
iyolah di Periangan Padang Panjang.

Balai di Periangan Padang Panjang itulah “mangkuto sekalian balai” tempat berhimpun Koto Piliang dengan Boedi Tjaniago; maka itulah Periangan Padang Panjang itu bernama “Laras Nan Panjang, Tampuk Tangkai Alam”.

Catt.
Laras atau Lareh pada tulisan ini bukanlah Laras atau Lareh buatan Belanda tapi sistim adat di Minangkabau.

* Marjafri – Komunitas Anak Nagari Sawahlunto
* Sumber : DATOEK SOETAN MAHARADJA – Tambo dan oendang-oendang adat alam Minang Kabau in de oetoesan Melajoe (1911—1913).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

iklan

iklan

Latest