spot_img
spot_img
BerandaDAERAHPraktisi Hukum, H. Alfan Sari: Publik Seharusnya Dilibatkan Didalam Pembahasan RUU Polri...

Praktisi Hukum, H. Alfan Sari: Publik Seharusnya Dilibatkan Didalam Pembahasan RUU Polri dan RUU KUHAP

Jakarta,metrotalenta.online—-Upaya revisi UU Polri bergulir di tengah berbagai kasus yang terjadi di kepolisian, dari kasus kekerasan seksual para perwiranya, perkara korupsi, hingga kesewenangan yang berakibat kematian tertuduh pelaku kejahatan di luar hukum

Kekhawatiran publik juga cukup beralasan terhadap sejumlah regulasi baru dalam revisi KUHAP. Salah satu pasal yang disorot berkaitan dengan kewenangan polisi untuk bisa melakukan penangkapan langsung. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 5 Ayat 2 Huruf a yakni penyidikan atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa penangkapan, pelarangan meninggalkan tempat, hingga penggeledahan dan penahanan.

Selain adanya tumpang tindih kewenangan didalam draf RUU POLRI, potensi kewenangan baru polisi terkait dengan penangkapan langsung dikhawatirkan berpotensi “abuse of power” atau penyalahgunaan kekuasaan. Padahal jika mengikuti KUHAP sebelumnya, polisi harus mengeluarkan surat penangkapan terlebih dahulu dan prosesnya mempunyai standar.

RUU Polri dan RUU KUHAP justru akan memperluas kewenangan Kepolisian. Polri dicemaskan akan menjadi lembaga super kuat yang kebal dari pengawasan, termasuk ketika disalahgunakan menjadi aktor politik. Idealnya revisi UU Kepolisian seharusnya membenahi sistem pengawasan terhadap polisi.

“Harapan masyarakat terkait revisi ini tentu adalah Polri yang lebih profesional. Untuk menuju ke sana, diperlukan sistem kontrol dan pengawasan yang lebih ketat, namun di dalam draf RUU Polri, kontrol dan pengawasan nyaris tidak diperkuat. Justru sebaliknya kewenangannya yang diperkuat. Padahal dengan undang-undang yang selama ini berlaku saja, mereka kerap melakukan abuse of power” ujar Alfan advokat yang aktif di Divisi Hukum Dewan Pengurus Nasional Persatuan Pewarta Warga Indonesia (DPN PPWI) dalam pendampingan media dan anggota pewarta yang dikenal kritis dan vokal selama ini didalam pemberitaan menyuarakan keadilan.

Sejauh ini masyarakat memang sudah tau atau dengar bahwa pengawasan terhadap polisi dilakukan secara internal melalui Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) serta Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum). Namun karena dua lembaga itu berada di dalam tubuh kepolisian, menurut praktisi hukum Adv. H. Alfan cenderung pengawasan terhadap polisi tidak tegas dan objektif. “Logikanya apa mungkin kontrol dan pengawasan bisa kuat kalau polisi sendiri yang membuat peraturan, yang melaksanakan, dan mereka juga yang mengawasi,” tegas Alfan yang juga sebagai Managing partner dari kantor hukum ALFAN SARI & REKAN.

Mekanisme lain yang diatur dalam UU Polri 2/2002 adalah melalui peran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Namun lembaga ini juga dapat dikatakan gagal melaksanakan tugas dan fungsinya. Dalam beberapa kasus, menurut Adv. Alfan Kompolnas justru bertindak tak ubahnya sebagai “Pembela dan Jubir Kepolisian”.
“Kewenangan yang diberikan undang-undang kepada Kompolnas lemah. Komisioner mereka juga didominasi unsur pemerintah dan Polri,”

Untuk itu sudah seharusnya DPR serta Komponen Masyarakat terkait dan juga Pemerintah perlu duduk bersama dalam suatu kajian mendalam dan diskusi publik untuk membedah revisi undang-undang Polri dan Kitab Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP sebelum disahkan, karena berpotensi merugikan masyarakat luas dan mencederai rasa keadilan tegas advokat publik yang cukup lama pernah berjuang dalam penegakan hukum berkeadilan untuk kaum termaginalkan di POSBAKUMADIN.

Revisi UU Polri dan KUHAP berkaitan erat karena mengatur bagaimana polisi bekerja sebagai sebuah lembaga penegak hukum, berbagai hal yang terkait kinerja Polri dalam sistem peradilan pidana seharusnya diatur dalam perubahan KUHAP. Dengan mendahulukan revisi KUHAP, setidaknya akan mencegah lajunya DPR dan pemerintah memasukkan kewenangan penegak hukum ke dalam RUU Polri. Hal tersebut memang perlu dicegah karena penegak hukum bukan hanya Polri, tapi juga ada lembaga lain seperti Kejaksaan Agung, KPK, dan BNN.

Masih menurut keterangan yang sama dari Advokat H. Alfan Sari, SH, MH, MM, draf RUU Polri menggambarkan potret “Kegagalan pemerintah dan DPR” melihat persoalan fundamental di tubuh kepolisian. (Tim PPWI) Praktisi Hukum, H. Alfan Sari: Publik Seharusnya Dilibatkan Didalam Pembahasan RUU Polri dan RUU KUHAP

Jakarta – Upaya revisi UU Polri bergulir di tengah berbagai kasus yang terjadi di kepolisian, dari kasus kekerasan seksual para perwiranya, perkara korupsi, hingga kesewenangan yang berakibat kematian tertuduh pelaku kejahatan di luar hukum

Kekhawatiran publik juga cukup beralasan terhadap sejumlah regulasi baru dalam revisi KUHAP. Salah satu pasal yang disorot berkaitan dengan kewenangan polisi untuk bisa melakukan penangkapan langsung. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 5 Ayat 2 Huruf a yakni penyidikan atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa penangkapan, pelarangan meninggalkan tempat, hingga penggeledahan dan penahanan.

Selain adanya tumpang tindih kewenangan didalam draf RUU POLRI, potensi kewenangan baru polisi terkait dengan penangkapan langsung dikhawatirkan berpotensi “abuse of power” atau penyalahgunaan kekuasaan. Padahal jika mengikuti KUHAP sebelumnya, polisi harus mengeluarkan surat penangkapan terlebih dahulu dan prosesnya mempunyai standar.

RUU Polri dan RUU KUHAP justru akan memperluas kewenangan Kepolisian. Polri dicemaskan akan menjadi lembaga super kuat yang kebal dari pengawasan, termasuk ketika disalahgunakan menjadi aktor politik. Idealnya revisi UU Kepolisian seharusnya membenahi sistem pengawasan terhadap polisi.

“Harapan masyarakat terkait revisi ini tentu adalah Polri yang lebih profesional. Untuk menuju ke sana, diperlukan sistem kontrol dan pengawasan yang lebih ketat, namun di dalam draf RUU Polri, kontrol dan pengawasan nyaris tidak diperkuat. Justru sebaliknya kewenangannya yang diperkuat. Padahal dengan undang-undang yang selama ini berlaku saja, mereka kerap melakukan abuse of power” ujar Alfan advokat yang aktif di Divisi Hukum Dewan Pengurus Nasional Persatuan Pewarta Warga Indonesia (DPN PPWI) dalam pendampingan media dan anggota pewarta yang dikenal kritis dan vokal selama ini didalam pemberitaan menyuarakan keadilan.

Sejauh ini masyarakat memang sudah tau atau dengar bahwa pengawasan terhadap polisi dilakukan secara internal melalui Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) serta Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum). Namun karena dua lembaga itu berada di dalam tubuh kepolisian, menurut praktisi hukum Adv. H. Alfan cenderung pengawasan terhadap polisi tidak tegas dan objektif. “Logikanya apa mungkin kontrol dan pengawasan bisa kuat kalau polisi sendiri yang membuat peraturan, yang melaksanakan, dan mereka juga yang mengawasi,” tegas Alfan yang juga sebagai Managing partner dari kantor hukum ALFAN SARI & REKAN.

Mekanisme lain yang diatur dalam UU Polri 2/2002 adalah melalui peran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Namun lembaga ini juga dapat dikatakan gagal melaksanakan tugas dan fungsinya. Dalam beberapa kasus, menurut Adv. Alfan Kompolnas justru bertindak tak ubahnya sebagai “Pembela dan Jubir Kepolisian”.
“Kewenangan yang diberikan undang-undang kepada Kompolnas lemah. Komisioner mereka juga didominasi unsur pemerintah dan Polri,”

Untuk itu sudah seharusnya DPR serta Komponen Masyarakat terkait dan juga Pemerintah perlu duduk bersama dalam suatu kajian mendalam dan diskusi publik untuk membedah revisi undang-undang Polri dan Kitab Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP sebelum disahkan, karena berpotensi merugikan masyarakat luas dan mencederai rasa keadilan tegas advokat publik yang cukup lama pernah berjuang dalam penegakan hukum berkeadilan untuk kaum termaginalkan di POSBAKUMADIN.

Revisi UU Polri dan KUHAP berkaitan erat karena mengatur bagaimana polisi bekerja sebagai sebuah lembaga penegak hukum, berbagai hal yang terkait kinerja Polri dalam sistem peradilan pidana seharusnya diatur dalam perubahan KUHAP. Dengan mendahulukan revisi KUHAP, setidaknya akan mencegah lajunya DPR dan pemerintah memasukkan kewenangan penegak hukum ke dalam RUU Polri. Hal tersebut memang perlu dicegah karena penegak hukum bukan hanya Polri, tapi juga ada lembaga lain seperti Kejaksaan Agung, KPK, dan BNN.

Masih menurut keterangan yang sama dari Advokat H. Alfan Sari, SH, MH, MM, draf RUU Polri menggambarkan potret “Kegagalan pemerintah dan DPR” melihat persoalan fundamental di tubuh kepolisian. (Tim PPWI)

Must Read
spot_img
Related News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini