Penemuan deposit batu bara yang melimpah di Padangsche Bovenlanden (Dataran tinggi Padang, Sumatera Barat) tepatnya Sawahlunto pada tahun 1868 oleh seorang ahli geologi W.H. de Greeve. yang di publikasikan pada tahun 1871 dalam tulisan yang berjudul ” Het Ombilien kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het transportstelsel op Sumatra s Westkust “, membuat Pemerintah Kolonial Belanda berkeinginan untuk membangun sarana jalur transportasi guna menunjang operasional penambangan batubara tersebut nantinya.
Setelah Melalui proses pengusulan yang di warnai perdebatan mengenai prospek tambang tersebut akhirnya pemerintah Belanda menyetujui proposal pembangunan jalur transportasi dan mengucurkan dana dari anggaran Hindia tahun 1873 untuk pembangunan jalur rel kereta api di Pantai Barat Sumatera (Sumatera Barat) tersebut yang tertuang dalam surat keputusan Kerajaan tanggal 10 Januari dan 17 Februari 1873 No. 18 dan 24 .
Gubernur Jenderal Belanda menunjuk Ir. Delft Jacobus Leonardus Cluysenaer mantan insinyur pembangunan Kereta Api Negara Belanda dengan perintah penugasan yang tertuang dalam Surat Keputusan tertanggal 9 Mei 1873 No. 42 untuk memimpin penyelidikan mengenai peluang terbaik guna pembangun jalur perkeretaapian di Sumatera, baik untuk peningkatan transportasi di Pantai Sumatera Barat pada umumnya maupun untuk pemindahan batubara dari dataran tinggi Padang ke pesisir pantai pada khususnya dengan personel 5 insinyur dan 7 pengawas, sementara untuk juru gambar dan administrasi yang diperlukan akan ditunjuk di Hindia.
Survei tersebut berakhir tahun 1875. Pada tanggal 25 September tahun 1875 itu, insinyur Cluysenaer mempresentasikan rencana yang telah dipikirkan dengan matang dan realistis, tetapi terlalu mahal untuk di eksekusi Karena pada saat itu kondisi keuangan tidak memungkinkann akibat pengeluaran yang tinggi untuk biaya perang Aceh serta pembangunan jalur kereta api di Jawa yang menguras anggaran keuangan kolonial Belanda. Rute yang termuat dalam laporan Cluysanear tersebut : ladang batubara Sawahlunto ke Subang pas – Subang-pas (Solok) ke teluk Trusan – dari Subang-pas (Solok) ke Teluk Bayur dan dari sana ke Padang.
Berdasarkan laporan Mr Cluysenaer , pada awal tahun 1876 Pemerintah Belanda melakukan survei perkeretaapian lainya di dataran tinggi Padang yang bertujuan untuk menemukan jalur kereta api berbeda yang akan menghubungkan kota-kota utama di sana. Hasil Survey yang di tuangkan dalam laporan bertanggal 22 Maret 1876 , di dapati hasil yang sama dengan survey yang di pimpin Cluysener Sebelumnya.
Tahun 1878, berdasarkan keinginan Pemerintah untuk mencari dan merancang kemungkinan pembangunan jalur alternatif , Mr. Cluysenaer menyampaikan sebuah laporan yang sangat di harapkan oleh kolonial belanda yaitu jalur kereta api dengan biaya yang lebih murah daripada rancangan yang termuat dalam laporannya tahun 1875.
Dalam laporan ini Cluysenaer mengusulkan untuk tidak membangun rel kereta api di sepanjang rute yang direkomendasikan sebelumnya, melainkan mengikuti arah yang berbeda yaitu dari Padang melewati Kayu Tanam, Lembah Anei, Padang Panjang dan di sepanjang Danau Singkarak ke Sawah Lawas dan ladang batubara Ombilin, dimana Biaya rute ini diperkirakan lebih murah . Selain itu, rute ini juga memiliki keuntungan karena terkoneksi langsung dengan rancangan pembangunan jalur lain yang akan menghubungkan tempat-tempat utama di dataran tinggi Padangsche Bovenlanden.
Meskipun menteri pemerintah Belanda mengakui bahwa hasil penyelidikan lebih lanjut dari Mr. Cluysenaer sangat penting untuk penyelesaian masalah pembangunan kereta api di Sumatera, namun ia menyatakan, bahwa pada tahun 1878 tidak mungkin untuk sementara waktu mendapatkan sarana yang diperlukan untuk mengimplementasikan proposal yang dibuat.
Untuk tahap pengerjaannya, kembali terjadi perdebatan tentang siapa yang akan melaksanakan pembangunan jalur transportasi tersebut.
Negara atau swasta ?
Di sisi lain muncul permohonan untuk konsesi perkeretaapian yang dikombinasikan dengan pertambangan batu bara dengan tidak menerapkan jaminan bunga dari Negara.
Awal tahun 1884, menteri van Koloniën menganggap perlu bahwa penambangan batubara dan pembangunan serta pengoperasian kereta api harus berada dalam satu tangan, tetapi karena peraturan pertambangan yang ada saat itu hanya mengizinkan Tambang Batubara Ombilin yang ditemukan dari hasil penyelidikan pemerintah, konsesi dapat di berikan hanya setelah pelelangan umum .
Kondisi ini ditetapkan oleh Dekrit Hindia Belanda tanggal 20 Juli 1886 No. 29 dan termuat dalam Javasche Courant tanggal 23 Juli 1886 , yang mengumumkan proses pelelangan akan di lakukan pada tanggal 9
Desember 1887 .
keputusan Menteri ini banyak di tentang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Negara -Negara bagian dalam sidang-sidang tanggal 17 dan 18 November 1886. Banyak anggota dewan menilai bahwa pembangunan dan pengoperasian perkeretaapian dan pertambangan batu bara harus dilakukan oleh Negara, sehubungan dengan pandangan itu Menteri menyatakan bahwa outsourcing menjadi tidak mungkin karena keputusan sekarang harus dibuat. tentang prinsip: konstruksi negara atau swasta. Akibatnya, Lembaran Negara tanggal 23 November dan Javasche Courant tanggal 26 d. a.v. di batalkan .
Pada tanggal 30 Maret 1887, sebuah rancangan undang-undang diajukan kepada Jenderal Negara, yang menetapkan atas nama Negara:
a.kereta api di Provinsi Pantai Barat Sumatera, dari Teluk Brandy (Teluk Bayur) melintasi Padang ke Padang-Pandjang dan dari sana ke Fort de Kock dan Moeara Kalaban
b. fasilitas pelabuhan di Teluk Bayur .
Dalam Nota Penjelasan RUU ini, Menteri menyatakan bahwa kepentingan umum Hindia Belanda menuntut pemanfaatan Ombilinkolenveld, sedangkan kepentingan daerah di mana ladang batu bara itu berada tak kalah mendesaknya menuntut perbaikan sarana transportasi. Kepentingan-kepentingan itu, menurut Menkeu, hanya bisa dipenuhi jika pembangunan rel itu diambil alih langsunh oleh negara, sedangkan penambangan harus dimulai segera setelah sambungan rel kereta api dari suatu tempat dekat ladang batu bara ke Teluk Bayur siap beroperasi.
RUU itu disahkan pada 10 Juni 1887 yang disahkan tanpa proses pemungutan suara dan diundangkan menjadi undang-undang pada tanggal 6 Juli 1887 (Ind. Stbl. No. 163).
Melalui Keputusan Pemerintah tanggal 17 September 1887 1/ca secara terpisah di putuskan untuk mendirikan “Departemen Perkeretaapian Negara di Pantai Barat Sumatera” di bawah pimpinan seorang chief engineer yang melekat pada Departemen Pekerjaan Umum Sipil.
Pekerjaan Konstruksi dimulai segera setelah UU tersebut di tetapkan.
* Pada tanggal 1 Juli 1891, jalur lintasan Pulau Air – Padang Panjang telah selesai di bangun dan di buka untuk lalu lintas umum.
* 1 November 1891, jalur Padang Panjang – Bukittinggi , selesai.
* 1 Juli 1892 , jalur Padang Panjang – Solok , selesai.
* 1 Oktober 1892 , Solok – Muara Kalaban dan Padang – Teluk Bayur, selesai.
* Terakhir 1 Januari 1894 , jalur Muara Kalaban – Sawahlunto yang diikuti dengan pembangunan terowongan kereta api sepanjang 828 M , Selesai dibangun dan mulai beroperasi.
**************
Penulis = Marjafri
Sumber =
1. Nederlandsch Indische staatsspoor- en tramwegen – Perquin, B.L.M.C. 1921
2. * De kolenmijnen van Sawahlunto – mon 1804_79 , JEAN-PAUL CORTEN
3. Foto koleksi Tropenmuseum