Sabtu, November 23, 2024

“Orang Rantai “,Pekerja Paksa Di Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto

More articles

OCMHS,Metrotalenta.online–“Orang Rantai “,Pekerja Paksa Di Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto,Penggunaan terpidana sebagai tenaga kerja paksa atau yang sering disebut “Orang Rantai” di Indonesia berlangsung sejak pertengahan abad ke-XIX yang diterapkan secara berbeda antara hukum pidana khusus untuk orang Indonesia dan pidana khusus untuk orang Eropa.

Khusus bagi orang Indonesia dan golongan Timur Asing, diberlakukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana khusus, yakni “Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders in Nederlandsch Indie”, artinya Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk pribumi di Hindia Belanda dengan lama masa pidana kerja yang bervariasi mulai dari minimal satu hari sampai dengan seumur hidup.

Pidana kerja dibadi dalam dua kategori menurut lamanya masa hukuman , yakni kerja paksa (dwang arbeid) dan dipekerjakan (ter arbeid stellen).

Kerja paksa dengan masa lebih dari lima tahun dilakukan dengan dirantai (dwang arbeid aan de ketting) , yang di bawah lima tahun tanpa dirantai (dwang erbeid buiten de ketting). Sedangkan yang satu tahun ke bawah disebut dengan istilah “dipekerjakan” (ter arbeid stellen), dan yang di bawah tiga bulan disebut “krakal”.

Pidana kerja paksa baik dengan rantai maupun tidak, dilaksanakan diluar daerah atau lebih dikenal dengan sebutan “Pembuangan” (verbanning). Hukuman ini juga dimaksudkan untuk lebih memberatkan si terpidana. Terpidana menjalani hukuman kerja paksa pada proyek-proyek besar, seperti; di perkebunan – perkebunan, proyek pembangunan jalur kereta api, pertambangan diantaranya pada Tambang Batubara di Sawahlunto (Ombilin), proyek pembuatan jalan di Sumatera Tengah, Aceh, Tapanuli, Sulawesi, Ambon, Bali/Kintamani, Timor, dan daerah lainya pada masa Kolonial Belanda..

Foto ilustrasi

Tujuan utama dari hukuman kerja paksa ini adalah untuk menciptakan rasa takut (afschrikking) dan mengasingkan terpidana dari lingkungan sosial kemasyarakatan. Meskipun pada waktu telah diberlakukanya “Reglement op de Orde en Tucht” (Staatsblad 1871 no. 78) yang berisi tata tertib terpidana, namun tidak berjalan sesuai aturan tata tertib itu sendiri . Para terpidana tidak mendapatkan perlakuan yang layak sebagaimana mestinya.

Akibatnya, kondisi kesehatan para terpidana sangat menyedihkan bahkan hampir setiap hari terjadi usaha pelarian. Penegakan hukum dengan kerja paksa ini pada masa kekuasaan Hindia Belanda berlaku secara menyeluruh hingga ke lapisan masyarakat paling bawah.

Sejak tahun 1905 , Belanda mulai membuat penjara sentral wilayah (gewestelijke centralen) bagi terpidana kerja paksa, tercatat sebagai Kepala Urusan Kepenjaraan yang pertama adalah Gebels seorang sarjana hukum yang berjasa dalam membuat gebrakan-gebrakan baru dalam hal kepenjaraan (Sebelumnya marapidana ditempatkan pada barak-barak )

Sistem kamar bersama mulai diberlakukan (ahli penologi/ilmu kepenjaraan menganggap sistem ini punya andil dalam menyuburkan terjadinya penularan kejahatan sehingga muncul istilah “school of crime” sekolah kejahatan). Akibat lain adalah munculnya hukum rimba, siapa yang paling kuat, dia yang berkuasa. Dan bukan rahasia lagi bila si jagoan ini melakukan aktifitas homoseksual terhadap mereka yang lebih lemah.

PEKERJA PAKSA DIPERTAMBANGAN.

Pertambangan adalah salah satu tempat paling penting di mana para narapidana tersebut dipekerjakan . Tambang timah Banka telah menjadi tujuan penempatan para narapidana sejak awal abad kesembilan belas. Aktifitas penambangan sebagian besar dilakukan dengan menggunakan pekerja kontrak Cina, namun tenaga kerja paksa / narapidana juga dipekerjakan di sana sampai awal abad kedua puluh.

Pada tahun 1840-an, pemerintah kolonial bereksperimen dengan pertambangan batu bara di dekat Martapoera (Kalimantan Selatan). Eksperimen di lokasi penambangan “De Hoop” berumur pendek. Dari tahun 1849 sampai 1884 tambang batu bara “Oranje Nassau” di Pengaron (dekat Banjarmassin, Kalimantan Selatan) dijalankan oleh pemerintah kolonial dengan menggunakan tenaga kerja narapidana. Narapidana dilaporkan didatangkan dari Jawa, Madura, dan Bali. Antara tahun 1860 dan 1873 tambang batubara pemerintah di Pelarang (Kalimantan Timur) juga dioperasikan dengan menggunakan narapidana sebagai penambang.

Dampak tenaga kerja terpidana bervariasi menurut sektor. Karena ekstraksi batu bara sangat penting untuk sebagian besar operasi yang membentuk tulang punggung proyek kolonial – mulai dari transportasi hingga peperangan – pemerintah kolonial memegang cengkeraman ketat pada sektor pertambangan batu bara dan mengoperasikan tambangnya sebagian besar dengan menggunakan tenaga kerja murah yang diambil dari narapidana jangka panjang.

ORANG RANTAI DI SAWAHLUNTO

Pada tahun 1892, pemerintah kolonial Belanda mengeksploitasi tambang batu bara di wilayah Ombilin Sawahlunto . Sebelumnya, pembangunan jalur rel kereta api dari Emma Haven / Telukbayur – Sawahlunto sebagai sarana transportasi batubara antara tambang Ombilin dan Padang dikerjakan oleh para napi.

Awal beroperasi , tambang ini mempekerjakan tenaga kerja paksa ( Orang rantai) yang berjumlah sekitar 300 narapidana sampai Januari 1893 dan pada akhir tahun jumlah ini telah berkembang menjadi 1.250 orang.

Tenaga kerja terus bertambah, menjadi lebih dari 2.400 narapidana pada April 1898. Bulan berikutnya, tenaga kerja berkurang karena sebaguan besar dikirim untuk kepentingan ekspedisi militer Belanda ke Aceh.

Pada tahun-tahun berikutnya, jumlah angkatan kerja perlahan-lahan meningkat kembali, dengan sekitar 2.000 narapidana pada tahun 1900. Sejak akhir 1890-an dan seterusnya, semakin banyak pekerja kontrak yang dipekerjakan di pertambangan. Pada tahun 1910, tenaga kerja di tambang Ombilin terdiri dari 1.620 narapidana dan 4.761 pekerja kontrak. Pada tahun 1920-an, jumlah napi yang di pekerjakan di Sawah Loento berjumlah 1.790 orang dan populasinya terus meningkat sampai tahun 1922 sebanyak 4.747 narapidana .

Tambang Ombilin memberikan gambaran yang menarik tentang administrasi keuangan perusahaan pemerintah yang mengerahkan tenaga kerja narapidana. Dalam beberapa tahun pertama beroperasi (1893-1894) semua biaya yang berkaitan dengan tenaga kerja terpidana dibebankan kepada perusahaan pertambangan pemerintah. Diluar itu, biaya yang dikeluarkan untuk pakaian para napi dibayarkan dari anggaran keuangan Departemen Kehakiman.

Hal ini berubah setelah sejumlah besar narapidana ditarik dari tambang Ombilin untuk bergabung dengan ekspedisi militer ke Lombok pada musim gugur tahun 1894. Para direktur tambang mengeluhkan tentang kondisi dimana “para pekerja paksa yang berbadan sehat” dibawa ke Lombok, sementara mayoritas [napi] yang tersisa terdiri dari orang2 yang lemah dan sakit-sakitan”.

Beberapa ratus pekerja upahan (buruh bebas) yang kebanyakan dari mereka adalah orang Cina dan beberapa dari Nias – menghabiskan anggaran biaya tambang empat puluh hingga lima puluh sen per hari. Hal ini menyebabkan pengaturan baru dari tahun 1895 dan seterusnya di mana Departemen Kehakiman setuju untuk membayar semua biaya yang berkaitan dengan narapidana yang dikirim ke tambang Ombilin, sementara perusahaan pertambangan dikenakan jumlah yang tetap untuk setiap para narapidana yang bekerja di perusahaan, terlepas dari apakah itu di dalam atau di luar tambang.

Narapidana juga ditempatkan di tambang batu bara di Poeloe Laoet (Kalimantan Tenggara). Tambang ini dimulai oleh perusahaan swasta, tetapi diambil alih oleh pemerintah kolonial pada tahun 1913. Pada tahun 1924, sekitar 980 narapidana dipekerjakan dari total tenaga kerja lebih dari 2.000 orang. Pada tahun 1929, jumlah tenaga kerja telah meningkat menjadi hampir 3.300, sementara jumlah narapidana berkurang menjadi lebih dari 700 orang. Pada tahun 1919, pemerintah kolonial mulai mengoperasikan tambang batu bara lain di Boekit-Asam (Sumatera). Untuk sebagian besar keberadaannya, tambang itu dioperasikan menggunakan pekerja kontrak Cina, tetapi untuk waktu yang singkat di awal tahun 1920-an sejumlah besar narapidana dibawa masuk.

“Tromp” Direktur pertama tambang ini menuai banyak kritikan , ia memberikan alasan penggunaan para napi ini karena kesulitan rekrutmen untuk mendapatkan pekerja Cina .

Di tambang Ombilin, narapidana bekerja sepanjang waktu dalam shift delapan jam. Pengawas Eropa dibantu oleh mandoers yang dipilih dari antara narapidana yang paling pekerja keras dan setia. Di tempat tinggal mereka, para narapidana diawasi oleh sipir penjara Eropa dan beberapa mandoers. Di tambang, narapidana dipekerjakan pada lokasi yang berada jauh dalam perut bumi sementara para buruh kontrak dipekerjakan pada tugas-tugas yang kurang berisiko. Korban tewas akibat ledakan di poros lobang tambang menunjukkan bahwa hal ini juga terjadi di tempat lain. Sebuah ledakan di tambang Poeloe Laoet pada tahun 1924, misalnya, menewaskan enam puluh tiga pekerja, di antaranya lima puluh tujuh adalah narapidana dan hanya lima pekerja kontrak.

Kondisi di tambang sangat sulit dan rezim menerapkan sangsi disipliner secara brutal. Catatan menunjukkan bahwa ribuan orang terkena sangsi pemukulan menggunakan tongkat rotan setiap tahun nya.

Antara tahun 1900-1902 menurut laporan Breman, di tambang batu bara Ombilin Sawah Loento, penerapan hukuman fisik, terutama pukulan rotan, sangat lazim diterapkan sebagai sarana untuk menjaga disiplin kerja.

Inspektur dari pelayanan medis sipil pada saat itu, Dr. A.G. Vorderman, melihat selama kunjungannya di tambang, para polisi pada waktu luangnya berlatih memukul dengan keras dan tepat dengan sasaran orang hukuman yang diikat ke batang pisang (batang pohon pisang) sebagai pengganti tiang hukumanan.

“Setiap tujuh orang yang dicambuk berakhir di rumah sakit, cedera atau menjadi cacat permanen”.

Periode 1922–1924 ditandai dengan krisis parah dalam rezim disipliner. Mungkin karena kelebihan populasi, jumlah pemukulan rotan terdaftar yang dilakukan pada populasi narapidana tambang meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun-tahun ini. hal Ini diikuti oleh peningkatan tajam kasus kurungan isolasi.

DESERSI

Pada awal tahun 1894, tercatat bahwa 176 narapidana telah berusaha melarikan diri dalam sebelas bulan pertama – mengingat rata-rata populasi narapidana, ini berarti tingkat desersi sembilan belas persen. Sebagian besar narapidana ditangkap kembali (146), sehingga tingkat desersi tahunan yang sebenarnya menjadi sekitar tiga persen. Kadang-kadang, tingkat desersi meningkat menjadi enam persen.

Serangkaian tindakan disipliner brutal diterapkan, mulai dari hukuman berat (pukulan tongkat rotan) hingga pemantauan tempat tinggal dan tempat kerja para narapidana, serta mengawasi lokasi umum terdekat (pasar – pasar) hingga bekerjasama dan memberi penghargaan kepada penduduk setempat untuk mencari dan mengembalikan narapidana yang melarikan diri.

PELARANGAN DAN PENGHAPUSAN HUKUM KERJA PAKSA

PELARANGAN…
Maraknya penerapan kerja paksa yang menimpa rakyat-rakyat pribumi di wilayah-wilayah jajahan Eropa, seperti di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia membuat negara-negara yang tergabung dalam organisasi perburuhan dunia atau International Labor Organization (ILO) menyelenggarakan Konvensi yang dilaksanakan di Kota Jenewa, Swiss , yang secara khusus membahas mengenai Kerja Paksa atau Wajib Kerja pada tahun 1930 yang dampaknya memberikan tekanan pada negara-negara kolonial untuk mereformasi kebijakan kerja paksa di koloni masing-masing.

Penyelenggaraan Konvensi Kerja Paksa 1930 bertujuan untuk menekan penggunaan kerja paksa dalam segala bentuknya terlepas dari sifat pekerjaan atau sektor kegiatan di mana pekerjaan itu dapat dilakukan. Tujuan ini terdapat pada Pasal 1 Konvensi Kerja Paksa 1930 yang berbunyi “Each Member of the International Labour Organisation which ratifies this Convention undertakes to suppress the use of forced or compulsory labour in all its forms within the shortest possible period” .

Konvensi Kerja Paksa 1930 Nomor 29 yang terdiri 33 Pasal dan 67 ayat, disahkan pada sesi ke-14 International Labor Conference (ILC) pada 28 Juni 1930 dan berlaku efektif pada 1 Mei 1932 .

Pemerintah Kolonial Belanda sendiri baru Meratifikasi Konvensi Kerja Paksa 1930 tersebut mulai tanggal 31 Maret 1933.

PENGHAPUSAN
Tanggal 5 Juni 1957 Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) melangsungkan sidang ke empat puluh tentang penghapusan kerja paksa atau kerja wajib dengan tambahan tentang Penghapusan Perbudakan (karena lilitan hutang dan pengolahan tanah), Perdagangan, Lembaga Perbudakan serta praktek yang sama dengan Perbudakan di Jenewa – Swiss.

Sidang ILO ke 40 tersebut melahirkan konvensi nomor K-105 tentang Penghapusan Kerja Paksa
… End…

Sumber / Referensi =
* Colonial Exploitation, Coercion, and Control in the Dutch East Indies, 1810s–1940s
* https://rujukanpas.com/sejarah-pemasyarakatan/
* https://id.m.wikipedia.org/wiki/Konvensi_mengenai_Kerja_Paksa
* https://www.ilo.org/jakarta/info/WCMS_124563/lang–en/index.htm
* Van koelies, klontongs en kapiteins : het beeld van de Chinezen in Indisch-Nederlands literair proza 1880-1950. Dharmowijono, W.
* https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kerja_paksa
* Foto ilustrasi =
– https://iisg.amsterdam/nl/blog/educatie/dwangarbeid-in-nederlands-indie
– https://www.google.com/amp/s/amp.nos.nl/artikel/2292377-nederlands-erfgoed-indonesie-op-unesco-lijst.html
* Penyunting = Marjafri
“Komunitas Anak Nagari Sawahlunto”.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

iklan

iklan

Latest