Senin, Juli 8, 2024

Kehidupan Dan Kerja Misionaris Pertama Ditengah Orang Rantai Sawahlunto

More articles

Metrotalenta.online–Kehidupan Dan Kerja Misionaris Pertama Ditengah Orang Rantai Sawahlunto,Josephus Johannes Wijnveldt lahir di Rotterdam , Pada tanggal 27 Maret 1865. Dia adalah anak bungsu dari enam bersaudara yang taat menjalani ajaran Agama yang dianutnya.

Setelah menamatkan sekolahnya di “Kklokberg” di Nijmegen (21 April 1883) dia melamar dan di angkat menjadi guru di “Moll School” (Agustus 1883) dimana di sekolah itu juga J. A. Wijnveldt te Ridderkerk kakaknya menjadi guru pertama pada sekolah misi tersebut. Wijnfeld bekerja untuk beberapa waktu lamanya di sekolah Moll, kemudian di Sekolah Panti Asuhan di Koningsstraat, dan setelah bergabung dengan Gereja Reformasi, di mengajar di sekolah Reformed di Jan Hendrikstraat.

Pada tanggal 2 Januari 1890 sekolah Keuchenius di Prinsegracht diresmikan dan dia pindah untuk bekerja dan mengajar disana di bawah arahan kakak tertuanya.

Setelah beberapa tahun lamanya ia berprofesi sebagai guru, ia merasa tertarik dan memutuskan untuk bergabung dalam Misi. Tanggal 1 September 1892, ia mengirimkan surat pengunduran dirinya sebagai guru di Sekolah Keuchenius untuk kemudian bergabung sebagai Misionaris di “Komite Misi Asing” pada Asosiasi Emelo.

Sebagai persiapan untuk pekerjaan misi , sebagian besar waktunya digunakan untuk belajar bahasa Jawa, karena ia berkeinginan dan memiliki keyakinan bahwa suatu saat nanti akan di tugaskan sebagai misionaris di tengah-tengah masyarakat Jawa.

Dia cukup beruntung menemukan Profesor Poensen di Delft yang akan membimbingnya dalam studi bahasa Jawa. Adapun untuk mata pelajaran lainnya para misionarist dibimbing oleh Pdt. G. H. van Kasteel, pendeta Gereja Reformasi di Den Haag.

Selain belajar, ia mempersiapkan diri untuk tugasnya dengan cara lain. Ia pergi ke Jerman untuk mendapatkan pelatihan membuat perban dan memberikan pertolongan pertama di salah satu rumah sakit terbesar yang ada disana.

Dan lebih jauh lagi, di Rumah Misi di Ermelo, di mana dia menghabiskan saat-saat terakhir masa persiapan sambil menunggu penahbisannya sebagai misionaris, dia juga berlatih mata pelajaran praktis, termasuk pertukangan.

Akhirnya, tanggal 18 Januari 1894 dia ditahbiskan sebagai salah satu Misionarist yang tergabung dalam Yayasan Ermelo.

Tuan Van ‘t Lindenhout di Neerbosch, dalam kapasitasnya sebagai bendahara Ermelo-Neukirchen, menerima surat dari Tuan JC Cleton, juru gambar di Departemen Kereta Api Negara di Solok di Sumatra, di mana dia bertanya apakah dia bisa mengirimkan seorang misionaris ke Sawah-Loento, untuk bekerja di antara para pekerja paksa di sana. Para pekerja paksa ini kebanyakan semuanya orang Jawa, dan orang yang dikirim kepada mereka pasti sudah menguasai bahasa Jawa, karena bahasa itu tidak bisa dipelajari di antara para pekerja paksa.

Akhirnya hari keberangkatan telah tiba. Pada hari Senin, 2 April 1894, kerabat, teman, dan kenalannya mengantarnya ke stasiun di Utrecht. Kereta api membawanya ke Genoa, di mana ia menaiki kapal uap “Amalia”, yang akan membawanya ke Hindia. Tanggal 2 Mei 1894 ia mendarat di Batavia.

Tepat pada saat misionaris Wijnveldt mendarat di Jawa dan bersiap di sana untuk pekerjaannya di antara orang Jawa, Insiden Lombok .

Tanggal 26 Juni terbit surat penugasannya untuk mengikuti ekspedisi sebagai pendeta dan harus bersiap untuk naik ke kapal pada tanggal 2 Juli 1894. Tanggal 6 Juli kapal yang dinaikinya mendarat di Lombok. Bendera Lombok diturunkan dan diganti dengan bendera Belanda.

Proses Debarkasi pasukan di Lombok berlangsung damai sehingga Jenderal Vetter mengundangnya untuk turun ke darat bersama para prajurit dan mulai bekerja (kapal rumah sakit tidak bekerja selama bulan-bulan pertama pendaratan di Lombok).

Bersama pendeta Voogel dari Magelang dan Smit dari Djocja, serta pendeta Pdt. Rye dan Pdt. Offerhaus, ia melaksanakan tugasnya selama berbulan-bulan di Lombok.

Sebelum akhir tahun 1894 Ekspedisi dibubarkan dan misionaris Wijnveldt diberikan cuti untuk kembali ke Jawa dengan menaiki Kapal uap “Coen”, yang juga membawanya ke Lombok sebelumnya. Dari Lombok ia pergi ke Surabaya dan kemudian menuju Batavia untuk tinggal di rumah Brother Freyss.

Atas dedikasinya pada ekspedisi lombok, ia dianugerahi penghargaan oleh pemerintah Belanda dan Pemerintah kota Batavia berupa Alkitab berlapis perak dengan kunci dengan dudukan logam berlapis marmer. Dilapisan perak itu tertulis tulisan berikut: “Gereja Reformasi Batavia, kepada Weleerwaarden Heer J. J. Wijnveldt, untuk mengenang karyanya sebagai Penginjil dalam ekspedisi Lombok.” Di halaman depan Alkitab ada sebuah piagam indah yang ditulis dengan tangan yang bagus, ditandatangani oleh Pdt. Huysing dan seluruh Dewan Gereja.

Tak lama kemudian, Wijnveldt menerima surat dari Sumatera untuk segera datang ke Sawah-Loento. Namun karena setelah sekian lama berada di Lombok, Wijnfeld merasa perlu kembali untuk mempelajari dan memperdalam pengetahuannya dalam hal bahasa jawa sehingga untuk itu ia pergi ke Jawa Tengah terlebih dahulu dan kembali belajar bahasa jawa dibawah bimbingan misionaris Jansz di Mergóredjo di Djapara).

Pada Januari 1895 Wijnveldt bertunangan dengan Johanna Mooy, putri Pdt. Mooy di Ermelo . Tak lama kemudian dia akan datang ke Hindia untuk kemudian pergi bersama ke Sawah-Loento. Tapi sebelum mulai bekerja di Sawah-Loento, ia harus menunggu izin dari Gubernur Jenderal terlebih dahulu. Permohonan untuk itu sudah dibuat dan diajukan pada bulan Maret 1895 namun sampai tanggal pada tanggal 31 Juli masih belum ada jawaban.

Sementara itu, Wijnveldt dengan rajin melatih dirinya dalam bahasa Jawa dan membuat kemajuan yang begitu baik sehingga ia dapat menyampaikan khotbah pertamanya dalam bahasa Jawa pada awal bulan Oktober di Kedoeng Pendjalin pada hari peresmian gereja misionaris yang baru.

Pada bulan November calon isterinya tiba di Batavia dan melangsungkan pernikahan pada tanggal 27 November 1895.

Menjelang turunnya keputusan dari gubernur jendral, semua sahabat dan keluarga mencoba menasehati untuk membatalkan penugasannya kesawahlunto karena kondisi kerja yang sulit dan berat yang akan dihadapinya kelak disana dimana ia mesti bekerja di antara kurang lebih 1500 orang pekerja rantai. Namun ia tak bergeming dan pada tanggal 21 Januari 1896 untuk pertamakali ia bersama isterinya menginjakkan kaki di pantai barat Sumatera.

Dari sana, perjalanan dilanjutkan dengan kereta api melalui Padang Pandjang, halte Koeboe Poeding, Solok, SiLoengkang menuju lembah Sawah Loento, tanah perjanjian para pedagang batu bara yang kegiatan eksploitasinya menjadi objek seluruh pembangunan jalur rel kereta api ini.

ANAK RANTAI SAWAHLUNTO

Di Sawahlunto mereka menempati rumah bambu kecil yang telah disiapkan untuk mereka. Selain misionaris dan istrinya, keluarga itu terdiri dari tiga orang lain yaitu : Parera (Ambon), Nechanja (Jawa) dan gadis Nias bernama Foeria yang akan menjadi pembantunya setia mereka.

Anak rantai kebanyakan berasal dari Jawa, tetapi ada juga orang-orang hukuman dari Cina, Madura, Sunda, Bugis, bahkan Klingal dan Sassaker. Mereka semua harus melakukan pekerjaan berat di tambang siang dan malam yang digilir setiap delapan jam. Saat libur bekerja, mereka menghabiskan hari dengan tidur dan istirahat karena pekerjaan di tambang yang sangat melelahkan. Tak hanya kondisi kerja yang berat tapi juga juga karena hawa panas yang hebat diareal tambang. Selalu ada ratusan orang yang sakit di antara para anak rantai itu. (Setibanya di Sawah Loento, misionaris menemukan lebih 400 orang dari mereka ditempatkan di barak yang menyedihkan)

Selain Sawah Loento, ada anak rantai di Durian dan banyak juga orang sakit di sana . (jumlah orang sakit meningkat menjadi 600 dan 700 penderita).

Misionaris itu memahami bahwa rumah sakit itu adalah tempat yang sangat baik untuk menabur benih Injil. Itulah sebabnya dia segera mulai mengunjungi orang sakit. Di pagi hari ia bergantian mengunjungi orang sakit di Sawah-Loento dan di Durian.

Selain kunjungannya ke rumah sakit, misionaris itu juga memberikan pengajaran membaca, menulis, dan berhitung, dan, di jalan keselamatan, mengadakan pertemuan keagamaan secara teratur. Ketika anak rantai menjadi lebih akrab dengan pendeta putih, mereka kadang-kadang memintanya untuk menuliskan surat untuk istri dan anak-anak mereka.

Untuk sementara waktu Semua pekerjaan ini dilakukan misionaris pada sebuah ruangan kecil di rumahnya , tetapi dalam jangka panjang ini tidak akan cukup. Oleh karena itu ada kebutuhan mendesak untuk mendirikan sebuah gereja dan gedung sekolah kecil. Ia juga merasa sangat membutuhkan seorang penolong pribumi yang terampil dan terlatih. Namun semua keinginan tersebut tidak dapat dipenuhi sekaligus, mesti secara bertahap.

Di sebelah halaman misi ada sebidang tanah yang luas di mana tidak ada yang menanam apa pun sampai saat itu.

Tentang negeri ini, misionaris Wijnveldt menulis:
“Di sebidang tanah ini, kami sangat menikmati perhatian yang menggembirakan dan membesarkan hati dari Pengirim kami. Secara umum dikatakan bahwa tanah halaman misi bukanlah milik pribadi, tetapi milik pemerintah, dan bahwa kami akan, tanpa ragu, menerima sebidang tanah itu secara cuma-cuma.

Ya, itu dengan tegas dijanjikan kepada kami. Ketika seorang donor Amsterdam yang ramah mengizinkan kami untuk membeli rumah bambu, saya ingin mengirim akta penjualan ke Belanda, ke kotamadya Zendings dengan melampirkan kertas resmi di atas stempel, di mana tanah itu diserahkan kepadanya. “Mereka juga ingin memberikan ini padaku”.

Ia memeriksa batas-batas tanah yang tertera pada dan merasa sangat takjub.
“Ternyata sebidang tanah itu dimiliki secara pribadi oleh salah satu kepala suku Melayu”.

Ia merasa khawatir, meskipun rumah sudah dibeli namun untuk memperoleh tanah tentunya menjadi hal yang berbeda dan ia tahu bahwa sangat sulit mencari tanah di lokasi lain yang cocok untuk misi.

“Namun tak berapa lama Kepala suku Melayu itu sendiri datang menemui saya dan mengatakan kepada saya bahwa dia bersedia menyerahkan tanah itu untuk pelayanan pekerjaan misionaris dengan satu syarat yaitu harus berjanji bahwa saya akan menyediakan buku-buku bagus kepada kepala suku Melayu tersebut, “Tuanku Laras”, tidak lebih dari 10 atau 12 gulden setiap tahun. Nah, itu dipenuhi dengan senang hati, dan barang-barang pertama diterima dengan penuh semangat. Itu adalah Alkitab Melayu dan Christenreize Bunyan edisi Melayu dengan gambar.

Sekitar empat hari kemudian dia datang menemui saya lagi dengan tiga kepala Melayu lainnya dan mengajukan pertanyaan kepada saya tentang kota Sion, jalan sempit dan gerbang sempit. Dia sangat menyukainya sehingga dia duduk sampai tengah malam, menikmati buku itu, penuh dengan gambaran yang sangat disukai oleh orang Timur”.

* Bersambung ke Bag.2

Sumber = * ONDER KOLONIALEN EN KETTINGGANGERS LEVEN EN WERKEN VAN ZENDELING J. J. WIJNVELDT DOOR P.DE ZEEUW J.G*zn . – Uitgave van EDZO VENEMA -GRONINGEN , 1919 .
* Penyunting = Marjafri
“Komunitas Anak Nagari Sawahlunto”.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

iklan

iklan

Latest